Sore itu, Pak Arif berjalan-jalan bersama Pak Rahmat di alun-alun. Alun-alun itu menghadirkan peradaban baru berupa rekreasi dan mungkin juga tempat bersosialisasi.Â
Setiap sore, beberapa pasang remaja memadu kasih nyaris tak kenal malu, meskipun disebelah baratnya sebuah masjid nan eksotik berdiri kokoh. Adzan sudah bergema, mereka tak beranjak.Â
Para remaja masih asyik bercengkrama dengan pasangannya masing-masing bergerombol seraya memainkan HP nya, dan sebagian lagi merokok. Imam masjid kesepian, tersungkur di depan mihrab sendirian.
"Mereka tidak peduli dengan firman-firman --Nya", Pak Arif mengawali pembicaraan setelah mereka selesai sholat maghrib berjamaah.
"Mungkin pengaruh makanan, sehingga hasrat mereka kepada lawan jenis cepat berkembang," Pak Rahmat menimpali.
Pak Arif tidak mau kalah, " Memang, ini sungguh tidak terduga. Anak-anak berkembang dengan cepat, bahkan seorang anak SD pun berani berbuat asusila terhadap adik kelasnya."
"Itulah kenyataannya, dan para guru nyaris tidak berdaya," imbuh Pak Rahmat.
"Bukannya tak berdaya. Sekarang sulit mencari guru yang memiliki integritas moral. Hampir semuanya mengejar profesi, sertifikasi, dan gaji tinggi," Pak Arif agak sisnis.
Sungguh sangat ironis. Otak anak-anak diasah terus menerus dengan pengetahuan, tetapi hati mereka dibiarkan kering kerontang dan di didik oleh iblis. Para orang tua menganggap anak-anak adalah makhluk dengan sebongkah otak dan segumpal daging, yang ada dalam diri anak-anak diabaikan. Pada saat orang tua sibuk membanggakan otak anak-anaknya, iblis sibuk mengasah hati manusia.
Perubahan zaman mengharuskan masyarakat mencari format baru dalam menghadapi perubahan, sekaligus menjawab tantangan yang ada. Salah satunya adalah pendidikan yang menghasilkan moralitas yang mampu bertahan dimasa depan. Dalam konteks ini, pendidikan tidak saja diartikan secara institusional, tetapi juga moral sosial. Secara kelembagaan sekolah bertanggung jawab atas moral, karena pendidikan bukan hanya sekedar pemindahan pengetahuan dan keahlian, tetapi juga seluruh kegiatan transfer nilai-nilai dan pengembangan sikap kritis, kreatif, inovatif disertai dengan teladan yang baik (akhlak al-karimah).
" Memang, sekolah tidak mungkin mengawasi anak didiknya selama 24 jam, tetapi pembelajaran yang hanya memprioritaskan otak merupakan penindasan terhadap potensi manusia. Moralitas seringkali tidak didapat melalui teori, oleh karenanya manusia yang ada dalam dunia pendidikan itulah yang bertanggung jawab untuk mengembangkan moralitas anak didik. Guru-gurunya, TU-nya, Satpamnya dan orang-orang yang terlibat didalamnya ". Pak Rahmat menimpali.