Seorang pria sambil berdiri menyengaja menanti terbit matahari pada hari itu.
Sambil merenung ia menyesali keadaan alam yang kian berubah.
Mengapa sawah kini semakin sempit tergantikan lahan permukiman?
Ahhh... kilas balik membuatnya mengirup udara terlalu dalam,
Ia perlahan mulai memegang lutut dan bertekuk terasa ginggil angin pagi menyapa.
Berlari, kotor, basah, Â gatal, bau dan bersama sahabat,
itu lah rasa yang menguat dalam lamunannya.
Di tengah lamunan pria itu, seekor belalang hinggap diujung kakinya.
Sedikit Semerengah senyumnya, belalang menjadi hiburan baginya.
Dibawa pulang lah belalang itu,
Saat yang sama sang ayah sedang menikmati segelas kopi dengan singkong goreng yang sedikit aga gosong.
Sambil bermain belalang bak anak lecil masa itu,Â
Ia melontarkan pertanyaan pada ayahnya.
Ayah, mengapa sawah kini kian menyempit?
Dan bibit bibit perumahan mulai tumbuh subur menggantikannya?
mengapa yah?
Diambil lah cangkul, sambil bersiap berangkat sang ayah menjawab.
Memang nak, Â sawah-sawah kini hampir hilang,
Ini bukan salah petani yang menjualnya atau pemerintah dengan keserakahannya,
Bukan pula para pengusaha dengan segalanya masterplan-nya.Â
Tapi ayah yakin ini semua karena pemuda sepertimu nak yang sudah tak suka bertani lebih suka urban ke kota-kota.
Jika sudah tak ada pemuda yang suka bertani, jangan lagi kau sesali sawah hilang dari bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H