Ku pandang dalam raut wajah istriku, sama sepertiku rasa menyesal terlihat dari tertegunnya memandang semua makanan. Mungkin dia butuhnya lima ratus saja ucapku kepada istriku untuk mencairkan suasana yang sempat membeku. Perasaan itu semakin menguat, semakin enggan mengangkat sendok makanan. Kami berdua berdiam diri karena merasa malu jika dibahas dengan obrolan yang terlalu kuat.
Jujur saja ini baru pertama kalinya mengalami kejadian seperti ini, huh rasaku takut melukai perasaan penyanyi hebat itu, takut rasa menyindirnya.
Jika memang ia merasa tersindir uang pemberian kami, kenapa ia mengembalikan uang hanya lima ratausannya saja, mengapa tidak kedua uang lima ratus rupiahnya yang dikembalikan. Atau memang yang sedang ia butuhkan hanya lima ratusan saja. Atau harga pemberian kepada penyanyi jalanan di lingkungan sini sudah naik harganya. Spekulasi dari berbagai penjuru menghantam isi hati. Jadi teringat sebuah kisah berjudul kisah sepotong kue. Ah ... Mungkin saja rejekiku yang sedang ditolak. Begitu dalam hikmah selogam uang lima ratus.
Sampai saat ini kata hati selalu bertanya, andai pria itu menyadari ketika ia menemukan uang lima ratus satunya digenggamannya. Jika ia selama ini mengembalikan kepada orang yang memberikan uang lima ratus, kenapa ada uang lima ratusan digenggamnya. Andai tulisan ini sampai kepada ia dan membacanya. Saya mohon maaf sepenuh hati, tidak berniat mengiha dengan memberikan dua logam uang lima ratusan dan ia kembalikan lagi satu logamnya.
Sudah tak tahan dengan gumpalan rasa mendung ini, sebelum petir terlalu banyak menghujam. Akhirnya kami menyudahi agenda kami disini, melanjutkan rencana lainnya sambil berdua mengingat sang Pencipta atas kejadian kali ini.Â
Terima kasih, untuk pelajarannya malam ini. Mari kita sama-sama mengambil hikmahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H