Dunia seakan berhenti berputar. Aku memandangnya, mencari tanda-tanda bahwa ini hanya lelucon buruk, tapi ekspresinya terlalu serius.
"Menikah? Dengan siapa? Kapan?" tanyaku dengan suara yang lebih tinggi dari yang kuinginkan.
"David," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Kami menikah dua bulan yang lalu."
Aku merasa marah, bingung, dan hancur sekaligus. "Lalu kenapa kau datang ke sini? Kenapa kau masih bicara tentang kesempatan?"
Dia menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Karena aku ingin kau tahu, Robby. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tapi aku tak punya pilihan lain."
Aku tertawa pahit. "Tidak punya pilihan? Apa maksudmu, Rani?"
Dia menghela napas panjang, seakan menanggung beban yang terlalu berat. "Kita berbeda, Robby. Beda keyakinan. Aku mencoba melawan, mencoba percaya bahwa cinta kita cukup untuk mengatasi semua itu. Tapi keluargaku... mereka tidak akan pernah menerima kita. Dan aku tidak bisa melawan mereka. Aku harus memilih jalan yang menurut mereka benar."
Aku terdiam, kata-katanya seperti menghujam hatiku.
"David... dia seagama denganku," lanjutnya. "Dia adalah pilihan yang tepat di mata mereka. Aku tidak pernah mencintainya seperti aku mencintaimu, tapi aku harus menerimanya."
Aku merasa hampa. "Jadi semua ini... semua yang kita punya, hanya berakhir karena itu?"
Dia menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Aku tahu ini tidak adil. Tidak untukmu, dan mungkin juga tidak untukku. Tapi aku tak punya kekuatan untuk melawan dunia, Robby."