Suatu malam, setelah pertemuan yang penuh ketegangan, kami duduk sambil makan di pinggir jalan, sambil diskusi tentang masa depan. Aku melihat Rani menunduk, namun kali ini tidak ada senyum seperti biasanya. Ada ketenangan yang lebih dalam, tapi juga seakan ada ketegangan yang sama-sama kami rasakan.
"Rani," aku berkata dengan hati yang berdebar, "apakah kau merasa kita hanyut di aliran yang sama?"
Rani tersenyum, tetapi senyumnya terasa tipis. "Aku rasa begitu," jawabnya, "meskipun kadang aku merasa kita berada di persimpangan yang berbeda, tetapi derasnya rasa seakan membawa kita ke muara yang sama."
Aku menatapnya, ingin sekali mengungkapkan semuanya, namun kata-kata tak datang dengan mudah. "Tapi kita selalu... terpisah sedikit, bukan?" kataku, suaraku terhimpit perasaan yang sulit dijelaskan.
Rani mengangguk perlahan, menunduk sejenak. "Kita selalu berusaha mendekat, Robby, tapi ada kalanya, kita harus menerima bahwa kedekatan itu hanya ada dalam angan."
Ada keheningan panjang yang mengikuti kata-katanya. Aku ingin menjawab, memberi semangat, mengatakan bahwa mungkin kami bisa melewati semua ini bersama. Tetapi entah kenapa, aku tahu jawaban itu tak akan cukup untuk mengatasi kenyataan yang sudah ada di depan mata kami.
"Kadang, kita terlalu berusaha, kan?" lanjut Rani, suaranya semakin lembut. "Kadang, kita hanya perlu menerima bahwa sekeras apapun kita berusaha, manusia tak akan bisa mengatur takdirnya sendiri."
Aku merasa sakit di dadaku, tapi aku tahu ini bukanlah saatnya untuk berdebat. "Mungkin," jawabku pelan, "tapi itu tak mengurangi perasaan ini. Tak mengurangi betapa aku... merasa kita memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar omong kosong ini."
Rani memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. "Aku tahu, Robby," katanya, hampir berbisik. "Aku tahu. Tapi kita tak bisa melawan waktu, menaklukkan ruang, atau kenyataan yang mengikat kita."
Aku ingin menggenggam tangannya, memberi tahu dia bahwa aku siap untuk menunggu, siap untuk melewati semua ini. Tapi aku hanya bisa menatapnya, dalam diam yang penuh dengan ketidakpastian.
Beberapa minggu kemudian, Rani semakin sibuk. Proyek besar yang ia luncurkan menjadi pusat perhatian, dan semua mata akan terfokus padanya. Aku tahu, di balik kesuksesannya, ada beban yang tak pernah ingin ia tunjukkan. Aku juga tahu bahwa dia semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Sementara itu, aku tetap berjuang di jalan yang tak pernah ia pilih---di dunia yang penuh dengan protes dan ketidakadilan.