Mohon tunggu...
Syahrian
Syahrian Mohon Tunggu... Penulis - selenophile, aquarius, aktivis

Aku ingin seperti tikus, jadi peng-erat selamanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lembar yang Terpisah

15 November 2024   06:37 Diperbarui: 15 November 2024   07:13 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram @syahriiaan

"Rani," aku memulai, suara hampir tak terdengar di tengah riuh kafe, "apa arti jarak untukmu?"

Dia menatapku, namun tak langsung menjawab. Wajahnya tenang, tatap matanya dingin, tapi aku bisa melihat raut kesedihan yang samar di matanya. Rani tak pernah bisa menyembunyikan apa yang dia rasakan, meskipun kata-kata tak pernah mudah keluar darinya.

"Apa maksudmu, Robby?" jawabnya akhirnya, suaranya lembut, namun ada ketegangan yang terpendam.

"Entahlah," aku menjawab, mengusap wajah dengan tangan, merasa sedikit kelelahan. "Aku hanya mencoba... berulangkali mengartikan jarak, namun sampai saat ini, aku tak tahu bagaimana cara mendekatkannya."

Rani menundukkan kepala, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir habis. Di matanya, ada keraguan yang sulit kuartikan. "Kita cukup mengikuti aliran, bukan?" katanya pelan. "Aliran waktu, aliran takdir. Kadang, sejauh apapun jaraknya, semua akan mengalir dan bemuara pada hilirnya."

Aku mengamati Rani, tak bisa memungkiri bahwa aku merindukannya lebih dari sekadar pertanyaan konyolku ini. Kami sudah terlalu sering saling menyembunyikan rasa ini, muak dengan kata-kata indah ---yang tak pernah menjadi paragraf utuh. Apalagi cerita?

Hari-hari berlalu, dan semakin sering kami bertemu dalam berbagai kesempatan, aku merasa perasaan ini semakin tumbuh. Tetapi, entah bagaimana, kami selalu menemukan cara untuk mengalihkan percakapan ke hal-hal yang lebih aman---perihal pekerjaan, kegiatan, atau bahkan obrolan ringan tentang cuaca. Tapi di balik semua itu, aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin kami ungkapkan.

Aku menulis puisi untuknya, banyak sekali. Namun tak pernah kutunjukkan. Di setiap baris, ada bayang-bayangnya, ada dirinya yang berdiam di ruang-ruang pikiranku. Setiap kata, setiap kalimat yang kubuat, seperti bentuk lain dari perasaan yang tak mampu kuungkapkan secara langsung.

Isyarat darinya ada, namun terhalang dinding tebal. Di matanya, ada kehangatan yang berusaha ia sembunyikan. Terkadang, aku melihatnya menatap jauh ke luar jendela, seolah ada sesuatu yang sedang ia cari, sesuatu yang ia tak bisa temukan di dunia yang dia jalani. Jujur, saat itu aku takut, takut salah membaca tanda.

Namun, kami berdua tahu---meskipun kami berbicara dengan cara kami sendiri, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun