mencari dinding yang bisa diajak bicara, berbekal sekaleng cat dan kuas di genggamannya.
Ia berdialog dengan dinding itu, dan menitip sebuah kalimat bertuliskan
"Dipaksa sehat di negeri yang sakit!".
Nahas baginya, keesokan harinya, aparat-aparat yang telah menghapus moralnya,
kini menghapus muralnya. Dengan cat yang dibeli dari uang rakyatnya,
dinding itu kemudian bersih lagi. Anak itu geram, namun ia tak hentinya mencari dinding lain untuk diajak berdiskusi. Ia mulai menulis lagi, "Hapus korupsi, bukan muralnya".
Hal yang sama terjadi lagi, berulangkali dindingnya bersih lagi.Â
Lagi-lagi Tuhan pun melihatnya, namun Tuhan tak akan pernah menghapus keresahan anak itu.
Anak itu bersujud, pada Tuhannya ia berserah, pada pemimpinnya ia terserah.
Sepertinya kita telah sampai pada hari ketika mulut dikunci,Â
kebebasan dikandangi, mengkritisi dianggap membenci,