Mohon tunggu...
Syahrian
Syahrian Mohon Tunggu... Penulis - selenophile, aquarius, aktivis

Aku ingin seperti tikus, jadi peng-erat selamanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Desa Balun: Pancasila Bukan "Aku" tapi "Laku"

30 Desember 2019   16:06 Diperbarui: 30 Desember 2019   16:53 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keunikan lainnya, masyarakat Balun sudah tidak tabu lagi jika dalam satu keluarga terdapat dua bahkan tiga agama yang berbeda. Kondisi ini hampir merata disetiap RT. Faktor utamanya yaitu ikatan pernikahan yang terjalin antar warga setempat yang berbeda keyakinan. Setiap keluarga yang anaknya menikah dengan orang yang berbeda keyakinan, biasanya merasa kecewa diawal, karena harus merelakan anaknya pindah keyakinan. Tetapi lambat laun hal ini menjadi dimaklumi, seiring pemikiran yang semakin terbuka terhadap perbedaan akhirnya masyarakat di sana bisa menerima kenyataan yang terjadi pada keluarganya.  

Toleransi Otentik

Di tengah suhu perpolitikan yang menghangat, masyarakat dihadapkan pada fenomena yang membelah masyarakat menjadi dua bagian yaitu, kelompok pancasilais dan anti pancasila. Masyarakat dengan mudahnya diprovokasi dengan hal sensitif yang menyoal SARA. Ketika kita sudah masuk dan terjebak ke dalam situasi ini, masyarakat saling dibenturkan, diadu-domba dan dijadikan alat baku hantam para pemangku kepentingan. Kelompok yang mengaku pancasilais biasanya selalu menjadikan pancasila sebagai komoditi atau barang dagangan untuk menarik simpati rakyat, dan tidak segan menuduh orang yang berbeda pandangan secara politik merupakan kelompok radikal  yang anti pancasila.

Jika dibiarkan, kondisi ini sangat mengkhawatikan, masing-masing pihak saling menonjolkan kebenaran versinya sendiri, krisis akal sehat, yang ada hanyalah kebencian dan hujatan yang bertebaran di jagad maya ataupun realita. Masyarakat dibiarkan kehilangan kegembiraan dan alergi terhadap perbedaan. Belum lagi munculnya serangkaian aksi teror yang hanya distigmatisasikan kepada kelompok agama tertentu. Padahal, tidak ada satu pun di muka bumi ini, agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi pembunuhan masal, semua sepakat dengan merujuk ajarannya masing-masing untuk melarang dan mengecam tindakan seperti itu.

Sekali lagi, masyarakat Desa Balun menyadarkan kita semua bahwa Pancasila itu bukan sekadar "Aku" tetapi harus diwujudkan kedalam "Laku". Sehingga gesekan demi gesekan yang mungkin terjadi bisa dicegah dan diminimalisir. Sehingga kita dapat nyaman berkeyakinan, aman beribadah, dan tentram dalam berinteraksi. Desa Balun adalah potret kecil kerukunan dan toleransi yang sudah mendarah daging di negeri ini. Persatuan tidak butuh keseragaman, tapi persatuan akan kuat jika kita mampu merawat dan mengelola keberagaman.

Syahrian
Surabaya, 20 Mei 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun