Mohon tunggu...
Syahrian
Syahrian Mohon Tunggu... Penulis - selenophile, aquarius, aktivis

Aku ingin seperti tikus, jadi peng-erat selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Ageisme" Cara Pandang Stereotip Pemerintah Kepada Mahasiswa

27 September 2019   02:42 Diperbarui: 27 September 2019   03:48 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum usai kisruh pilpres yang lukanya tidak kunjung mengering. Pembelahan di masyarakat muncul kembali diakibatkan percumbuan secara terbuka antara DPR dan Pemerintah. Percumbuan tersebut membuat sebagian masyarakat merasa sakit hati, kongsi atara keduanya mengakibatkan lahirnya Revisi UU KPK yang sangat prematur dan terkesan terburu-buru.

Revisi UU KPK yang diusulkan DPR dan disetujui oleh Pemerintah selain melemahkan KPK, revisi UU KPK ini dianggap mengkhianati cita-cita reformasi dan semangat pemberantasan korupsi. Disusul dengan agenda yang sifatnya maraton yaitu rencana pengesahan RUU KUHP dan RUU lainnya yang terdapat banyak pasal di dalamnya masih mengandung banyak polemik dan memantik kegaduhan publik.

Untuk setiap aksi selalu ada reaksi yang sama besar dan berlawanan arah, begitulah kira-kira bunyi hukum ketiga Newton yang ditulis Isaac Newton dalam karyanya Philosopiae Naturalis Mathematica, pertama kali pada tahun 5 Juli 1687. Reaksi keras justru muncul dari Mahasiswa yang kecewa dengan kondisi bangsa yang dianggap memperihatinkan di tengah ketidakpastian hukum yang mengancam rusaknya tatanan serta kemajuan.

Oleh sebab itu mahasiswa memilih turun ke jalan sebagai bentuk ekpresi untuk menyampaikan aspirasinya. Lewat beberapa tuntutan yang dilayangkan, mereka membara dengan kobaran semangat perubahan dan pembebasan. Kendatipun banyak masyarakat yang bersimpati dengan aksi yang mereka lakukan, tidak sedikit orang termasuk Pemerintah yang memandang sebelah mata gerakan yang mereka lakukan, ibarat "Anak kemarin sore" Mahasiswa dianggap tak tahu apa-apa, lalu mengintimidasinya dengan ujaran-ujaran yang cenderung mematikan nalar kritis mereka.

Ageisme

Istilah ageism diperkenalkan pertama kali oleh Robert Neil Butler pada 1969 dalam tulisannya bertajuk "Age-ism: Another form of bigotry" untuk mendiskriminasi mereka yang berusia tua. Menurut Butler, ada tiga elemen, yang bertautan dengan ageism. Elemen pertama yaitu, prasangka terhadap orang yang berusia tua atau lanjut maupun proses penuaan. Kedua, berbagai praktik diskriminasi terhadap orang berusia tua. Ketiga, beragam praktik kelembagaan dan kebijakan yang terus melanggengkan stereotip terhadap orang yang berusia tua.

Kendatipun gagasan Butler terutama berkaitan dengan kelompok usia tua, telisiknya tentang usia sebagai musabab munculnya prasangka dan praktik diskriminasi yang bisa pula diterapkan pada kaum muda, khususnya Mahasiswa. Stigma ini sering dialami pemuda justru karena "kemudaannya." Mereka kerapkali diragukan kemampuannya semata-mata karena dianggap miskin pengalaman, emosional, reaktif, tak memiliki kearifan dan kebijaksanaan, atau gampang menjajal risiko.

Bicara tentang kebijaksanaan semestinya tak boleh dikotakkan pada golongan tertentu. Ada sebuah anekdot yang cukup terkenal di masyarakat, tentang Mahatma Gandhi yang sedang menuntut ilmu di University Colledge, London dan Professor bernama Peter.

Sang Professor sengaja mengajukan pertanyaan kepada Gandhi, "andai kamu sedang berjalan, tiba-tiba menemukan paket berisi 1 tas penuh uang dan 1 tas penuh dengan kebijaksanaan. Mana yg kamu ambil?"

"Saya akan mengambil uang itu", jawab Gandhi.

Prof. Peter yang inginin menjebak Gandhi degan pertanyaanya, lantas menjawab,"Jika itu aku... maka aku akan mengambil kebijaksanaan"

Gandhi pun menjawab dengan santun, "Seseorang itu kerap mengambil apa yang tidak dia miliki."

Terkadang kedewasaan, kebijaksanaan tidak dapat diukur dari seberapa tua atau mudanya umur, tak juga seberapa tinggi atau rendahnya jenjang pendidikan. Keberanian, keikhlasan dan keyakinan utuh terhadap nilai yang diperjuangkan tanpa saling merendahkan adalah pembedanya.

Contoh lain yang dapat diamati yaitu, pendapat elit politik yang cenderung meremehkan dan melecehkan Mahasiswa karena "Kemudaannya" itu. Seperti dialog antara Tokoh-tokoh termasuk Mahasiswa di acara ILC yang tayang pada Selasa (24/09/19).

Pertama, yang mesti jadi sorotan yaitu raut wajah Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly yang terkesan meremehkan dengan taburan senyum sinis pada setiap ungkapan apapun yang disampaikan perwakilan mahasiswa.

Kedua, dalam komentarnya Yasona sebagai perwakilan eksekutif menyinggung mahasiswa yang demo kurang memahami isu undang-undang. "Yang Kedua saya mendengar adik-adik, saya juga aktivis masa mudanya. Jadi kalau saya dulu mau berdebat, saya baca dulu itu barang sampai sejelas-jelasnya, baru berdebat," ucapnya.

Dari kutipan ini Yasona membawa sentimen umur untuk mematahkan tuntutan mahasiswa dengan membandingkan pengalaman masa mudanya yang selalu membaca undang-undang sebelum berdebat. Tampak nyata pesan yang tersirat dari kutipan itu yang menganggap perwakilan mahasiswa sebagai anak muda yang tidak membaca dan tidak mengerti apa yang sedang mereka tuntut tanpa membedah substansi tuntutan satu persatu.

Padahal, dikesempatan sebelumnya Presiden Jokowi pun melakukan blunder yang amat serius karena ketidak cermatannya dalam membaca 4 poin yang disampaikan tentang ketidaksetujuannya dalam revisi UU KPK. Salah satunya adalah "Saya tidak setuju jika KPK harus meminta izin dari pihak ekstenal untuk melakukan penyadapan, misalnya izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup meminta izin internal dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan". Ternyata pada poin itu memang tidak ada dalam draf revisi UU KPK. Seperti dicek detik.com, revisi UU KPK memang tidak menyebutkan KPK harus meminta izin pengadilan tetapi pada Dewan Pengawas. Dalam dra revisi UU KPK, urusan penyadapan itu terdapat pada Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 12D.

 Sampai di sini, dapat disimpulan bahwa tidak bijak rasanya menghakimi mahasiswa dengan menakar umur sebagai tolak ukur untuk menyampaikan sebuah gagasan. Jangan sampai karena hal itu terjadi pengingkaran terhadap nilai keutamaan terkait kesetaraan. Yang harus diapresiasi adalah kepekaan mahasiswa yang punya harapan besar terhadap perbaikan nilai serta hukum yang memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat itu yang seharusnya disambut Pemerintah baik Legislatif maupun Eksekutif agar tidak arogan dalam mengambil kebijakan yang mengatasmanakan kepentingan rakyat. Aksi mahasiswa harus dimaknai sebagai fenomena kebangkitan alam demokrasi di negeri ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun