Bau amis ikan bercampur aroma karat menusuk hidungku, memaksa ingatanku kembali ke masa kecil di dermaga ini. Kapal-kapal kayu tua berderit pelan saat ombak menghantam lambungnya, seperti menyanyikan lagu lama yang tak pernah selesai. Langit pagi berwarna abu-abu, melukiskan suasana hatiku yang tak kalah kusam. Namaku Rizal, 25 tahun, seorang sarjana ekonomi yang baru saja pulang ke Belitung setelah empat tahun merantau di Yogyakarta. Dulu, aku berdiri di podium wisuda dengan bangga, tetapi kini gelar itu terasa seperti beban yang lebih berat daripada jaring penuh ikan yang diangkat para nelayan di hadapanku. Â
"Masih betah bengong, Zal?" Suara berat Pak Rustam membuyarkan lamunanku. Nelayan tua itu menepuk bahuku dengan tangan kasarnya, yang seakan menyimpan cerita puluhan tahun melawan laut. Kulitnya legam, keriputnya dalam, dan tatapannya tajam namun penuh kehangatan. Â
"Udah tiga bulan balik, kerjaan belum dapat juga?" tanyanya dengan nada setengah bercanda. Â
Aku memaksakan senyum. "Belum, Pak. Rasanya gelar saya cuma jadi penghias dinding saja."Â Â
Pak Rustam terkekeh kecil, suaranya serak seperti tiang kapal yang bergesekan dengan angin. "Dulu bapakmu juga keras kepala, Zal. Pengen jadi pelaut, padahal kakekmu maunya dia tetap di darat. Semua ada waktunya, nak. Jangan keburu patah semangat."Â Â
Kata-katanya terasa seperti angin dingin yang menembus dadaku. Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup menjawab. Hubunganku dengan Ayah selalu terasa seperti dua kapal yang berlayar di jalur berbeda---sama-sama di laut, tapi tak pernah benar-benar bertemu. Sejak aku memilih kuliah ekonomi, hubungan kami lebih sering diisi keheningan yang membentang seperti lautan tanpa ujung. Â
Pagi ini di rumah terasa seperti rutinitas biasa, tapi ada sesuatu di udara yang sulit kujelaskan. Aku duduk di beranda rumah kayu warisan kakek, mengamati cat putih di dinding yang mulai mengelupas. Setiap retakan dan tambalan di rumah ini seperti merefleksikan hidupku---penuh keraguan dan cerita yang tak selesai. Â
"Kak Rizal!" Suara Dina memecah lamunanku. Adikku yang masih SMA itu muncul dengan langkah cepat, memeluk buku tebal di dadanya. Matanya berbinar, tapi nadanya tegas seperti hakim yang siap memberi vonis. "Sore nanti temani aku ke perpustakaan, ya? Aku ada tugas bikin proposal tentang ekonomi lokal."Â Â
"Maaf, Din. Kakak ada---"Â Â
"---janji ketemu teman buat kerjaan?" Dina memotong cepat. Ia memiringkan kepalanya, memberi tatapan penuh tuduhan yang membuatku seperti terdakwa tanpa pembela. "Kakak selalu bilang begitu, tapi aku tahu Kakak cuma nongkrong di dermaga, nunggu angin sore!"Â Â
Aku terdiam, tertohok oleh kebenaran yang keluar dari mulutnya. Dina mendengus kecil, lalu berbalik, meninggalkanku terperangkap dalam rasa bersalah. Dari sudut ruangan, aku melihat Ibu yang sedang menyapu lantai dapur. Â
"Ayah pulang hari ini," kata Ibu lirih, suaranya hampir tenggelam oleh suara sapu yang menyapu debu. Tangannya gemetar saat ia menyandarkan sapu di dinding. Mata kami bertemu, dan ada sesuatu di dalam tatapan itu---sebuah keheningan yang terasa lebih keras daripada kata-kata. Â
Sore itu, seperti ada magnet yang menarikku ke dermaga. Langit mulai merona jingga, dan deburan ombak kecil terdengar seperti bisikan rahasia. Dari kejauhan, aku melihat Ayah turun dari kapal tongkangnya. Seragam kerjanya yang bau solar tampak lusuh, seolah menyimpan lelah dari perjalanan panjang. Kerutan di wajahnya terlihat lebih dalam---peta waktu yang sulit diabaikan. Â
"Yah," sapaku pelan saat dia mendekat. Â
Dia hanya mengangguk singkat, tanpa senyum, lalu duduk di sebelahku di ujung dermaga. Kami memandang laut yang berkilauan oleh cahaya senja, seperti layar bioskop raksasa yang memutar cerita diam-diam. Â
"Ayah dengar dari Ibu, kamu masih cari kerja," katanya, memecah keheningan. Suaranya tenang, seperti ombak yang baru menyentuh karang. "Kamu tahu, Zal, dulu Ayah jadi pelaut karena pikir itu cara terbaik untuk melihat dunia. Tapi bertahun-tahun di laut, yang Ayah lihat cuma langit yang sama, ombak yang sama." Ia berhenti, menarik napas dalam-dalam. "Kamu punya kesempatan lebih besar dari Ayah."Â Â
Aku menoleh, terpaku oleh nada suaranya yang jarang kudengar---lembut, namun penuh makna. Â
"Kamu kuliah ekonomi, kan?" lanjutnya, masih memandang laut. "Kalau mau kerja, lihat sekelilingmu. Jangan terlalu jauh memandang. Kadang peluang itu ada di depan mata."Â Â
Kata-katanya terasa seperti ombak yang menghantam pikiranku. Aku hanya mengangguk, membiarkan keheningan kembali mengisi ruang di antara kami. Â
Malam itu, kata-kata Ayah masih menggaung di kepalaku. Dina, yang akhirnya bersedia berbicara denganku lagi, menyerahkan buku tugasnya dengan senyum kecil. Â
"Ini, Kak. Hasil laut Belitung," katanya, menunjuk data-data yang dia kumpulkan. Â
Aku membaca dengan saksama, setiap angka dan grafik seperti petunjuk yang mengarahkanku ke satu hal: selama ini, mungkin aku salah mencari arah. Apa yang kubutuhkan ternyata selalu ada di sekitarku. Â
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mendekati para nelayan di dermaga. Tapi seperti yang kuduga, sambutan mereka jauh dari ramah. Beberapa hanya melirikku sekilas sebelum kembali sibuk dengan jaring mereka. Yang lain terang-terangan mencemoohku. Â
"Mau ngajarin kami soal laut?" salah satu dari mereka berkata sambil tertawa sinis. "Kamu bahkan nggak tahu cara bedain tongkol sama tenggiri!"Â Â
Cibiran mereka menusuk, tapi aku tidak menyerah. Setiap pagi aku kembali ke dermaga, mencatat hasil tangkapan mereka, mendengarkan cerita-cerita pahit tentang tengkulak yang mempermainkan harga, tentang mesin kapal yang sering rusak, dan cuaca buruk yang kadang menghancurkan segalanya. Perlahan, kehadiranku tidak lagi dianggap gangguan. Ayah, dengan pengaruhnya sebagai pelaut senior, membantuku mendapatkan kepercayaan mereka. Â
"Sistem perdagangan mereka terlalu tradisional," kataku pada Ayah suatu malam setelah mencatat semua keluhan itu. "Aku ingin buat koperasi dengan sistem yang lebih modern, tapi aku harus belajar dulu. Aku harus paham dari mana masalah ini sebenarnya dimulai."Â Â
Ayah menatapku lama, seperti menilai apakah aku benar-benar serius. "Kalau kamu mau belajar," katanya akhirnya, "ikut melaut. Rasakan dulu bagaimana sulitnya hidup mereka."Â Â
Aku mengikuti saran Ayah. Selama tiga bulan, aku melaut bersama para nelayan. Dari gelapnya subuh hingga teriknya siang, aku mendayung, menarik jaring, dan menghitung hasil tangkapan dengan tangan yang perlahan menjadi kasar. Kulitku yang dulunya bersih kini menghitam terbakar matahari. Tapi lebih dari itu, aku belajar memahami: bagaimana cara membaca angin dan ombak, menghitung risiko di tengah laut, dan betapa rapuhnya hidup mereka yang menggantungkan segalanya pada kemurahan hati alam. Â
Namun, perjuangan itu bukan tanpa rintangan. Ketika aku mulai memperkenalkan ide koperasi, resistensi muncul, baik dari nelayan maupun tengkulak. Â
"Kalau koperasi itu jalan, harga bakal anjlok. Kita nggak bakal beli dari kalian lagi!" ancam salah satu tengkulak di depan para nelayan. Suaranya berat, penuh tekanan, membuat beberapa nelayan langsung memalingkan wajah, takut. Â
Aku merasa dadaku mengencang, tapi Ayah menepuk bahuku sebelum aku bisa menjawab. "Zal, jangan terpancing," bisiknya pelan. Â
Namun, ancaman itu membuatku berpikir ulang. Malam-malam berikutnya, aku dihantui keraguan. Apakah semua ini layak diperjuangkan? Bagaimana jika perjuangan ini justru menghancurkan hidup mereka? Â
"Ayah dulu juga takut, Zal," katanya suatu malam. Kami duduk berdua di dermaga. "Tapi kamu tahu apa yang bikin Ayah bertahan? Karena Ayah tahu, kalau kita berhenti, kita nggak akan ke mana-mana. Laut itu nggak akan diam untuk kita. Dia terus bergerak."Â Â
Kata-kata Ayah membuatku kembali yakin. Perlahan, aku mulai menguatkan sistem koperasi dengan dukungan beberapa nelayan senior.
Aku memperkenalkan pemasaran digital yang memungkinkan mereka menjual hasil tangkapan langsung ke pembeli di luar pulau. Awalnya, butuh kesabaran ekstra untuk mengajari para nelayan menggunakan smartphone. Ada seorang nelayan yang sudah berusia 50 tahun bahkan hampir menyerah ketika berkali-kali salah menekan tombol di layar sentuh.
"Aduh, Zal... tangan saya kan kasar begini. Layarnya nggak mau nurut," keluhnya sambil menggaruk kepala. Tapi setelah latihan intensif, dia mulai bisa memotret hasil tangkapannya dan mengunggahnya ke platform digital yang sudah kusiapkan.
Kami menghabiskan berjam-jam di balai desa, berlatih cara memotret ikan yang menarik - bagaimana mencari sudut yang tepat, memastikan cahaya cukup, dan menata ikan-ikan segar itu agar terlihat menggiurkan di foto. "Lihat, kalau difoto dari atas seperti ini, sirip merahnya kelihatan jelas. Pembeli suka ikan dengan warna cerah," jelasku pada sekelompok nelayan yang mengerumuni smartphone-ku.
Setiap prosesnya panjang dan sulit. Dari urusan packaging yang harus rapi dan higienis, sistem pengiriman yang harus tepat waktu, hingga komunikasi dengan pembeli yang kadang berbelit-belit. Pernah satu kali pengiriman terlambat karena cuaca buruk, dan kami harus menghadapi kemarahan pembeli dari Jakarta. Tapi justru dari kesalahan-kesalahan itu kami belajar dan memperbaiki sistem.
Setelah beberapa lama, hasilnya mulai terlihat. Pesanan mulai mengalir dari restoran-restoran di Surabaya dan Jakarta. Mata para nelayan berbinar ketika melihat harga jual yang bisa dua kali lipat dari harga tengkulak. Bahkan ada nelayan yang dulu paling pesimis dengan teknologi, kini justru yang paling bersemangat mengecek notifikasi pesanan di smartphone-nya.
Orang yang dulu mencemoohku, kini menjadi pendukung utama koperasi. "Ternyata gelarmu ada gunanya juga," candanya suatu hari sambil menepuk pundakku. "Tapi bukan gelarnya yang penting. Kemauanmu belajar yang bikin beda."Â Â
Malam itu, aku kembali duduk di beranda rumah kayu warisan kakek, memandangi dindingnya yang catnya masih mengelupas. Tapi malam ini, ada rasa bangga yang pelan-pelan mengisi celah-celah keraguan yang dulu selalu menghantuiku. Â
Dina duduk di sebelahku, wajahnya berbinar penuh semangat. "Kalau koperasi ini sukses, apa rencanamu selanjutnya, Kak?" tanyanya. Â
Aku tersenyum, lalu memandang ke arah laut yang gelap. "Rencana selanjutnya? Membuktikan bahwa mimpi, sekecil apa pun, bisa mengubah dunia."Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H