Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit yang Terkunci

17 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masna !" Suara ibunya memecah keheningan. "Kenapa belum masak? Nanti ayahmu pulang dari sawah tidak ada yang dimakan!"

Masna buru-buru menyembunyikan kanvas di balik kain lusuh di sudut kamar, tempat yang sama di mana ia menyimpan semua mimpinya. Dari luar kamar, terdengar helaan napas berat ibunya.

Langit pagi tampak biru pucat, seolah membentang tanpa batas. Namun, bagi Masna, batas itu jelas---tirai bambu yang menghalangi cahaya, seperti hidupnya yang terkurung oleh tradisi. Gadis berusia dua puluh tahun itu duduk di dekat jendela, menggenggam kuas seperti menggenggam rahasia. Dengan gerakan ragu, ia mencelupkan kuas ke cat biru tua, lalu menarik garis di atas kanvas kecil di depannya. Di musim kemarau seperti ini, langit selalu tampak lebih biru, seperti kanvas tanpa batas. Tapi di balik dinding kamar sempit ini, Masna merasa langit itu hanya ilusi, kebebasan yang tak pernah bisa ia sentuh.

"Ibu tidak mengerti kenapa kamu jadi seperti ini," kata ibunya pelan. "Dulu kamu anak yang penurut. Sejak kenal Aswandi ..."

"Aswandi tidak ada hubungannya dengan ini, Bu," potong Masna , tangannya gemetar membereskan cat-cat murah yang ia beli dari uang mengajar mengaji. "Ini tentang aku."

Di desa kecil ini, di mana sawah membentang hingga kaki gunung dan tradisi mengakar lebih dalam dari sumur-sumur tua, perempuan seperti Masna diharapkan menjalani hidup yang sederhana. Kakaknya, Siti, sudah menikah di usia delapan belas dan kini memiliki dua anak. Sepupunya, Yani, berhenti sekolah di SMP untuk membantu di warung. Melukis? Itu mimpi yang tidak seharusnya dimiliki anak perempuan dari keluarga petani.

***

"Kamu masih ingat tidak," kata Aswandi sore itu, saat mereka duduk di tepi sawah yang membentang luas. Langit sore memerah, warnanya merayap ke sawah yang luas. "Langit ini tidak hanya milik mereka yang punya kebebasan," kata Aswandi sambil memandang ke atas. "Ia milik semua orang yang berani bermimpi, termasuk kamu." 

"Dulu kita sering main di sini. Kamu selalu membawa buku gambar kecil, melukis apa saja yang kamu lihat. Aku bahkan pernah jadi modelmu, ingat?"

Masna tersenyum tipis, meski ada rasa perih yang ikut menyelinap. "Tentu aku ingat," jawabnya pelan. Dulu, di mata anak-anak lain, melukis adalah hal aneh. Namun, Aswandi tidak pernah mengejeknya. Ia hanya duduk di sampingnya, memperhatikan setiap goresan garis yang Masna buat dengan penuh minat. Kadang, ia bahkan ikut mencoret, meski tangannya kaku dan hasilnya tidak jelas.

"Itu sudah lama sekali," tambah Masna. Ia mencoba mengalihkan tatapannya ke sawah, tapi kenangan itu sudah menyerbu pikirannya.

Aswandi membuka tas usangnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah buku sketsa kecil dengan sampul yang sudah lusuh. "Ini," katanya sambil menyerahkannya pada Masna. "Aku menyimpannya sejak kamu memberikannya padaku sepuluh tahun lalu."

Masna tertegun. Buku itu terasa begitu asing, sekaligus familiar di tangannya. Ketika ia membukanya, halaman-halamannya telah menguning, tetapi gambar-gambarnya tetap hidup: petani membajak sawah, seekor kucing tidur di bawah pohon, ibu-ibu mencuci di sungai. Semua itu adalah potret masa kecilnya, jejak-jejak yang dulu ia buat tanpa berpikir panjang.

"Aswandi..." suaranya bergetar.

"Aku lihat lukisanmu di belakang gudang sekolah," potong Aswandi, tatapannya tajam tapi lembut. "Kamu sudah jauh lebih baik dari ini. Lebih hidup. Tapi kenapa harus sembunyi?"

Masna menggigit bibirnya. "Kamu tahu kenapa," katanya lirih. "Pak Tono pernah bilang pada ayahku, anak perempuan yang terlalu bebas itu berbahaya. Katanya, itulah yang membuat putrinya sendiri kabur ke kota dan tidak pernah kembali. Aku tidak mau jadi alasan ayahku malu."

Aswandi menarik napas panjang, menatap ke arah cakrawala yang mulai memerah. "Tapi kamu bukan seperti putri Pak Tono, Masna. Kamu tidak ingin kabur, kan? Kamu hanya ingin melukis." Ia menoleh padanya, matanya penuh keyakinan. "Dan kalau tradisi itu hanya membuatmu memadamkan cahaya sendiri, apa itu benar-benar tradisi yang harus dijunjung?"

***

Malam itu, sambil membantu ibunya mengupas singkong yang akan dijual besok, Masna mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Suara piring berdenting dan nyala lampu minyak menjadi satu-satunya saksi. "Bu," ujarnya hati-hati, "kenapa waktu muda Ibu berhenti membatik?"

Tangan ibunya terhenti. Kulit singkong di tangannya belum terkelupas sepenuhnya. "Siapa yang cerita?" tanyanya dengan nada datar, tapi matanya menatap tajam.

"Aswandi," jawab Masna pelan. "Katanya dulu Ibu pembatik yang terkenal di desa sebelah."

Ibunya terdiam sejenak, seolah waktu menariknya kembali ke masa lalu. "Itu dulu," katanya akhirnya, suaranya rendah namun sarat beban. "Sebelum krisis ekonomi, sebelum ayahmu sakit, sebelum kita kehilangan semuanya. Kadang, Masna, hidup tidak selalu memberi kita pilihan."

Masna menggenggam singkong di tangannya, tapi matanya tertuju pada wajah ibunya. Ada sesuatu di sana---rasa lelah yang selama ini ia abaikan. "Tapi sekarang beda, Bu. Aku sudah kirim beberapa lukisan ke galeri di kota. Mereka bilang---"

"Kamu apa?" Ibunya memotong, suaranya meninggi. Ia meletakkan pisau dengan kasar di atas meja kayu. "Ya Allah, Masna. Kamu mau bikin malu keluarga? Mau jadi bahan omongan seperti anak Pak Tono? Perempuan yang tidak tahu adat?"

Masna menegakkan punggungnya, meski suara ibunya menusuk. "Anak Pak Tono kabur karena dijodohkan, Bu. Bukan karena seni."

"Tetap saja, Masna!" Ibunya menatap tajam, matanya berkaca-kaca. "Kamu pikir apa yang akan dikatakan orang kalau tahu kamu melukis? Perempuan tidak butuh mimpi besar. Perempuan butuh harga diri."

Masna merasakan panas di matanya, tapi ia tidak ingin menangis. "Bu, kalau melukis adalah caraku menjaga harga diri, apa itu salah? Apa salah kalau aku ingin lebih dari sekadar hidup seperti yang diatur orang lain?"

Ibunya terdiam. Singkong-singkong di depannya terlupakan. Tapi di balik kemarahan itu, Masna melihat sesuatu di mata ibunya---seperti luka lama yang kembali terbuka.

***

Kabar tentang lukisan Masna yang akan dipamerkan menyebar secepat api di musim kemarau, membuat suasana desa riuh dengan bisik-bisik penuh cemoohan. Suatu sore, Pak Tono datang ke rumah mereka dengan langkah berat dan wajah merah menyala. Suaranya menggema di ruangan sempit.

"Saya sudah peringatkan tentang anak perempuan yang terlalu bebas!" katanya, menatap ayah Masna dengan tajam. "Sekarang lihat. Melukis? Pameran? Apa kata orang nanti? Mau jadi contoh buruk bagi anak-anak di desa ini?"

Ayah Masna menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah karena malu. "Maafkan kami, Pak Tono. Kami akan..."

"Pak," suara Masna memotong, membuat semua orang terdiam. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya, tapi matanya menatap lurus ke arah Pak Tono. Suaranya jernih, meski ada ketegangan yang terasa. "Bapak ingat putri Bapak, Ratna?"

Ruangan mendadak sunyi, hanya terdengar suara napas yang berat. Pak Tono menatap Masna, wajahnya berubah pucat. "Apa maksudmu?"

"Saya masih menyimpan surat-suratnya," jawab Masna, suaranya semakin tegas. "Dia menulis kepada saya sebulan sebelum pergi. Dia tidak kabur karena ingin bebas, Pak. Dia pergi karena tidak ada yang mau mendengarkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Karena suaranya selalu dibungkam."

Pak Tono tertegun, kata-kata seakan tercekat di tenggorokannya. Ayah Masna memandang anaknya dengan raut bingung bercampur cemas.

Masna melangkah maju, meski kakinya terasa lemah. "Saya tidak ingin seperti Ratna. Saya tidak ingin meninggalkan desa ini, Pak. Tapi saya juga tidak akan membiarkan suara saya dipadamkan. Saya ingin membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menghormati tradisi tanpa kehilangan mimpi-mimpinya. Melukis adalah caraku menghormati desa ini---ceritanya, keindahannya, orang-orangnya."

Pak Tono menatapnya lama, wajahnya kaku. Tak ada lagi suara amarah, hanya keheningan yang mengisi ruangan. Lalu, tanpa sepatah kata, ia berbalik dan pergi meninggalkan rumah, meninggalkan mereka dengan perasaan yang campur aduk antara takut dan harapan.

***

Hari pameran tiba dengan gemuruh. Galeri kecil di kota itu dipadati pengunjung, termasuk beberapa warga desa yang datang dengan raut wajah tegang, penuh rasa ingin tahu bercampur skeptisisme. Di antara mereka ada ibu Masna, berdiri canggung di sudut, dan Pak Tono, yang memasuki ruangan dengan langkah berat dan pandangan penuh kewaspadaan.

Di atas kanvas, langit tidak lagi sempit atau mendung. Ia memeluk desa dengan warna biru terang, mencerminkan keindahan yang sederhana namun kuat. Warga desa tertegun; mereka melihat langit yang sama, tapi melalui mata yang berbeda. Di atas kanvas, kehidupan desa terpampang dengan kejujuran dan kehangatan yang tak terbantahkan. Ada potret mendalam seorang ibu yang membatik di senja hari---detail halus itu langsung dikenali sebagai wajah ibunya di masa muda. Ada gadis-gadis mencuci di sungai, dengan ekspresi lelah namun bermartabat. Ada pemandangan sawah yang membentang di bawah langit jingga, mencerminkan perjuangan sehari-hari yang akrab bagi mereka semua.

Lalu, ada lukisan Pak Tono. Ia duduk di beranda rumahnya yang sederhana, menggenggam foto usang di tangan. Wajahnya yang keriput menyiratkan kesepian yang dalam, tapi juga kerinduan yang sulit dijelaskan.

Masna berdiri di depan kerumunan, napasnya teratur meski hatinya berdegup kencang. "Saya melukis bukan untuk memberontak," katanya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya melukis untuk menghormati. Untuk mengabadikan cerita kita, tradisi kita, dengan cara yang belum pernah dilihat orang luar. Saya ingin dunia tahu keindahan dan kekuatan yang ada di balik kehidupan kita di desa ini."

Pak Tono berhenti di depan lukisan dirinya, tatapannya terpaku. Lama ia berdiri di sana, seolah tak peduli dengan kerumunan di sekitarnya. Suaranya akhirnya keluar, pelan dan nyaris berbisik, namun cukup untuk membuat semua orang mendengar. "Ratna... dia suka melukis juga."

Kata-kata itu menggantung di udara, menyelimuti ruangan dengan keheningan yang penuh makna. Beberapa orang menoleh ke arah Pak Tono, yang masih menatap lukisan itu dengan mata berkaca-kaca. Ibu Masna menundukkan kepala, wajahnya sulit ditebak. Tapi di sudut bibir Masna, sebuah senyum kecil terbit---bukan kemenangan, melainkan pengakuan bahwa akhirnya, mereka mendengar.

***

Sebulan kemudian, Masna membuka kelas melukis kecil di balai desa. Aswandi membantunya mengajar anak-anak. Ibunya, yang kini mulai membatik lagi, kadang datang untuk membagi cerita tentang motif-motif tradisional.

"Masna ," panggil ibunya suatu sore. "Lihat apa yang Ibu temukan." Ia mengeluarkan kotak kayu berisi peralatan membatik lama dan beberapa kuas cat.

Masna memeluk ibunya, merasakan aroma singkong dan matahari yang selalu melekat di baju mereka. Di luar, langit senja membentang luas, tidak lagi terkunci. Seperti kanvas yang menunggu untuk dilukis, dengan warna-warna warisan dan mimpi yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun