Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaca Pecah

15 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 14 Januari 2025   20:16 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Meta AI 

Pagi itu, mentari menyusup lembut melalui jendela rumah kayu sederhana di tepi desa. Sutipa tersenyum kecil melihat Rihen, putranya yang berusia lima tahun, berlari ke dapur sambil memanggil nama ayahnya. Suaminya, Juno, duduk di kursi rotan, menyeruput kopi sambil membaca koran. Kehangatan itu terasa nyata, seperti mimpi yang Sutipa takutkan akan sirna.

"Ayo, Nak. Setelah ini kita pergi memancing," ujar Juno sambil mengusap kepala Rihen.

Sutipa tertawa kecil. "Aku akan memasak gangan malam ini. Jadi pastikan tangkapanmu bagus."

Hari itu dimulai seperti biasa. Juno mengantar pesanan kayu ke kota, sementara Sutipa sibuk di kebun, menyiangi rumput liar yang tumbuh subur di antara tanamannya. Namun, menjelang sore, sebuah ketukan di pintu rumah mereka memecah rutinitas itu. Tetangga mereka berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.

"Juno... dia mengalami kecelakaan di jalan utama," katanya dengan suara berat.

Sutipa tertegun. Tubuhnya gemetar saat ia berlari ke puskesmas. Di sana, di ruang dingin yang penuh keheningan, ia menyaksikan dunia yang selama ini ia kenal runtuh. Juno telah pergi, meninggalkan Sutipa dan Rihen dengan kekosongan yang menyesakkan.

Di sudut puskesmas, matanya tertuju pada cermin kecil di dinding yang retak. Ia menatap bayangannya yang kusut dan matanya yang basah. "Seperti ini rasanya... hidup yang pecah," pikirnya.

Minggu-minggu pertama setelah kepergian Juno terasa seperti kabut tebal yang tak kunjung sirna. Sutipa tenggelam dalam rutinitas kosong. Kebun yang dulu menjadi pelariannya kini terbengkalai. Rihen sering bertanya, "Kenapa Ayah tidak pulang, Bu?" Sutipa hanya bisa memeluknya erat, mencoba menahan air mata yang mengalir diam-diam.

Bisikan tetangga mulai terdengar, seperti jarum-jarum kecil yang menusuk telinganya. "Bagaimana Sutipa akan bertahan tanpa Juno? Dia hanya ibu rumah tangga."

Namun, di tengah segala tekanan itu, sahabatnya, Dayang, tak pernah absen mengunjunginya setiap dua hari. Ia datang membawa makanan, mengajak Rihen bermain, atau sekadar duduk diam menemani Sutipa yang tenggelam dalam kesedihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun