Beberapa bulan kemudian, aku memberanikan diri menemui Rustam di penjara. Ia duduk di balik jeruji, tubuhnya lebih kurus, tapi senyumnya tetap sama. Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Kenapa, Bang? Apa benar semua ini?”
Rustam menatapku lama, lalu berkata dengan suara berat, “Pin, aku tidak seperti yang mereka pikirkan.”
Rustam menghela napas panjang, suaranya berat saat mulai bercerita. "Aku tahu uang itu palsu, Pin," katanya, matanya menerawang ke kejauhan. "Tapi aku tidak punya pilihan. Bukan aku yang mencetaknya. Mereka... orang-orang itu... memaksaku untuk mengedarkan uang itu lewat bus."
Aku menatapnya, bingung sekaligus geram. "Siapa mereka, Bang? Kenapa kau tidak melawan?"
Rustam menunduk, tangannya menggenggam erat jeruji penjara, seperti mencari kekuatan dari dinginnya besi. "Mereka mengancam keluargaku, Pin. Kalau aku tidak menurut, anak-anakku jadi taruhannya. Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak berani ambil risiko."
Dadaku bergemuruh mendengar pengakuannya, tapi satu hal masih mengganjal pikiranku. "Tapi, Bang... kenapa kau tetap begitu dermawan? Bukankah itu malah membuatmu lebih mencolok? Lebih mudah dicurigai?"
Rustam tersenyum tipis, senyuman yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. "Aku tahu uang itu salah. Aku tahu setiap lembar yang kubagikan adalah dosa. Tapi aku berpikir, Pin... kalau uang itu bisa membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan, mungkin dosaku sedikit lebih ringan."
Kata-katanya menusuk dadaku seperti pisau. Aku ingin marah, ingin meneriakinya bahwa itu bukan alasan. Tapi suara Rustam melemah, hampir seperti bisikan. "Aku hanya ingin, meski hidupku salah, ada sedikit kebaikan yang tersisa. Setidaknya aku mencoba..."
Aku menggeleng perlahan, mataku tak bisa lepas dari wajah lelahnya. Ada sesuatu yang masih terasa janggal, sesuatu yang tidak terucap dari bibirnya. Tapi Rustam menunduk dalam, seolah menutup rapat rahasia yang lebih besar. Aku hanya bisa duduk diam, bertanya-tanya apa lagi yang ia sembunyikan di balik senyuman pahit itu.
***
Beberapa tahun berlalu. Rustam keluar dari penjara dengan tubuh lebih tua dan sorot mata yang lebih tenang. Ia kembali ke Manggar, hidup sederhana sebagai buruh angkut di pelabuhan.