Aku sedang menyetor hasil jualan di bank di Tanjungpandan. Petugas bank, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal, memeriksa uangku dengan teliti. Tangannya bergerak perlahan, menyusun lembar demi lembar. Tapi tiba-tiba ia berhenti, menatap dua lembar uang di tangannya dengan ekspresi yang berubah tajam. Â
"Pak," katanya pelan, namun nada suaranya menusuk, membuat jantungku berdebar. "Uang ini palsu."Â Â
Aku terpaku. "Apa? Tidak mungkin!" sergahku, merasa darahku seketika berdesir dingin. Â
Petugas itu mengangkat dua lembar uang lima puluh ribuan ke hadapanku, lalu menunjuk ke bagian tertentu. "Lihat nomor serinya. Sama. Dan coba rasakan kertasnya."Â Â
Aku meraih uang itu dengan tangan gemetar. Rasanya seperti biasa, tapi di bawah pencahayaan terang bank, aku mulai melihat perbedaan kecil: kertasnya lebih tipis, warnanya sedikit memudar. Â
"Tidak mungkin," bisikku, hampir kepada diriku sendiri. "Uang ini saya terima dari Bang Rustam."Â Â
Petugas itu hanya menatapku, tak berkata apa-apa. Suasana sekitar terasa mencekam, seperti udara di ruang bank tiba-tiba menipis. Di kepalaku, potongan-potongan ingatan mulai berputar cepat. Aku teringat uang baru yang selalu ia bagikan. Wajah ramahnya yang selalu tersenyum. Kebiasaannya menyelipkan uang ke tangan orang-orang yang membutuhkan. Â
Senyum Rustam tiba-tiba terasa asing di ingatanku, seperti topeng yang menyembunyikan sesuatu. Tanganku semakin gemetar. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirku, seolah dinding-dinding kenyataan di sekitarku mulai retak.
Hari itu aku tak mampu menatap wajah Rustam. Aku naik busnya seperti biasa, tapi pikiranku melayang. Aku mulai menyadari bahwa sesuatu yang gelap mungkin tersembunyi di balik senyuman ramahnya. Â
Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan itu datang. Rustam ditangkap polisi di Pangkalpinang. Ia kedapatan membawa setumpuk uang palsu saat mencoba menukarnya di bank. Desas-desus cepat menyebar. Rustam, si dermawan yang dihormati, ternyata bagian dari sindikat uang palsu. Orang-orang di kedai kopi sibuk membicarakannya, tapi aku memilih diam, mencoba mencerna kenyataan ini. Â
Namun, ada sesuatu yang terus mengusikku. Aku merasa ada yang tak beres. Rustam, yang selalu terlihat tulus membantu orang, tak pernah tampak seperti orang jahat di mataku. Â