Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulau Cinta Terlarang

9 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:50 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belitung, 1920. Aroma gaharu dari kelenteng tua di sudut pecinan bercampur dengan lantunan azan Maghrib dari surau kampung nelayan. Di tengah pemandangan senja yang syahdu, Wu Liang berdiri di depan altar leluhur. Tangan tuanya gemetar saat membakar kertas sembahyang. “Para leluhur, ampunilah anakku. Ia telah melupakan jalan yang kalian ajarkan,” bisiknya dalam dialek Hakka.  

Di dermaga tua yang lapuk dimakan usia, Tian Wu memandang jauh ke laut. Di kejauhan, jung-jung dagang dengan layar berlambang naga bersandar anggun, membawa rempah dan sutra dari tanah leluhurnya. Namun hati Tian tidak diisi oleh kerinduan pada Tiongkok, melainkan oleh kenangan setahun lalu—ketika badai menyatukannya dengan seorang gadis yang mengubah segalanya.  

“A-Tian!” Sebuah suara lembut memecah lamunannya. Kong Su-mei, ibunya, berdiri di ujung dermaga. “Ayahmu mencarimu. Para tetua sudah berkumpul.”  

Tian mengangguk pelan. Dia tahu, pertemuan itu adalah sidang untuk menghakiminya—untuk membahas cintanya pada Ayu, putri Pak Mahmudin, juragan nelayan yang sering dipandang rendah oleh keluarga kaya di pecinan.  

***

Setahun sebelumnya.

Badai angin barat menggila di Selat Gelasa. Langit gelap seolah runtuh, angin menderu seperti raksasa mengamuk. Ombak setinggi rumah saling berlomba menghantam perahu-perahu kecil yang tak berdaya melawan amarah laut. Di tengah kekacauan itu, Tian Wu menggenggam erat kemudi sampan motornya, matanya tajam menembus hujan yang seperti tirai tebal. Suara mesin tua yang menderu-deru seakan melawan takdir, membawa Tian menerjang gelombang yang nyaris menelannya.  

“Tolong! Ya Allah, tolong!” Teriakan itu menghantam indera Tian seperti petir di telinga. Di kejauhan, bayangan perahu Pak Mahmudin terlihat miring, hampir tenggelam. Tiang layarnya patah, dan geladaknya penuh air. Tian memacu sampannya mendekat, meskipun setiap hembusan angin terasa seperti cambuk yang memukul tubuhnya.  

Di atas perahu yang terombang-ambing, Ayu menggenggam tiang yang nyaris rubuh, wajahnya pucat, rambutnya basah terjuntai di sekitar wajahnya yang penuh ketakutan. Di geladak, Pak Mahmudin tergeletak tak sadarkan diri, tubuhnya terhuyung setiap kali ombak mengguncang.  

“Ayu!” teriak Tian di tengah hiruk-pikuk badai. Perahunya bergoyang liar saat mendekati perahu Ayu, hampir terbalik karena hantaman gelombang. Ayu menoleh, matanya bertemu dengan Tian—sepasang mata yang membawa secercah harapan di tengah maut yang mengintai.  

“Loncat ke sini! Cepat!” teriak Tian sambil mengulurkan tangan, tubuhnya hampir terhempas ke laut.  

“Aku tak bisa meninggalkan Ayah!” balas Ayu, suaranya serak melawan angin.  

Tian menggeram, lalu melompat ke perahu mereka, meskipun ombak seolah ingin menelannya. Kakinya terpeleset, tapi dia berhasil meraih tiang layar yang patah untuk menstabilkan dirinya. Dengan gerakan cepat, dia memeriksa Pak Mahmudin, memastikan napas pria itu masih ada, sebelum kembali menatap Ayu.  

“Pegang tanganku!” teriak Tian lagi, lebih keras. Tangannya terulur, basah dan penuh luka karena tali-tali kasar yang dia genggam sebelumnya. Ayu ragu sejenak, lalu melompat ke arahnya. Jemari mereka bertemu—dingin, basah, tetapi kokoh.  

Ombak raksasa menghantam tepat saat Tian menarik Ayu ke pelukannya, membuat mereka terhuyung. Dalam sekejap itu, mata jelagai Ayu bertemu mata sipit Tian, penuh rasa takut, terkejut, dan... sesuatu yang lebih dalam. Dunia seakan berhenti sejenak di tengah badai, menyisakan hanya mereka berdua dan percikan perasaan yang tak terungkapkan.  

“Jangan lepaskan,” bisik Tian, nyaris tak terdengar di tengah deru badai. Ayu mengangguk, menggenggam tangannya erat. Bersama-sama, mereka melawan kekuatan laut yang berusaha memisahkan mereka. 

***

Di rumah keluarga Wu, suasana tegang melingkupi ruang tamu bergaya tradisional Tiongkok. Di tengah meja kayu jati, teko teh Oolong mengepul lembut. Kong Su-mei, dengan gerakan tenang, menuang teh ke dalam cangkir porselen bermotif naga biru, peninggalan leluhur. Namun, ketenangan itu tidak mampu menutupi kegelisahan di wajahnya.  

“Kau tahu kenapa leluhur kita memilih Belitung, A-Tian?” tanyanya, suaranya lembut namun sarat makna.  

Tian, duduk di seberang meja, mengerutkan kening. “Karena timah?” jawabnya ragu, mencoba menebak apa yang ada di benak ibunya.  

Su-mei tersenyum tipis, lalu menatap lukisan tua di dinding—gambar kapal layar besar yang berlabuh di dermaga. “Lebih dari itu. Leluhur kita percaya tanah ini adalah tempat yang penuh harapan. Di sini, di antara saudara-saudara pribumi, mereka melihat peluang untuk hidup berdampingan. Tapi waktu telah merubah banyak hal...” Suaranya merendah, hampir berbisik. “Tembok-tembok yang tak terlihat mulai dibangun. Status, kekayaan, gengsi... Semua itu memisahkan kita, bukan hanya secara budaya, tetapi juga hati.”  

Tian menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata Su-mei seperti menusuk langsung ke dalam hatinya. Ia tahu, tembok-tembok itu kini menjadi jurang besar antara dirinya dan Ayu.  

Di sisi lain pulau, rumah Ayu juga dipenuhi ketegangan. Pak Mahmudin duduk di kursi kayu tua di beranda, tatapannya terpaku pada hamparan laut yang tenang. Hembusan angin malam membawa aroma garam dan kenangan pahit dari badai yang hampir merenggut nyawanya.  

“Ayah masih ingat malam itu,” ujarnya pelan, suaranya berat seperti ombak yang menggulung. “Kalau bukan karena Tian, mungkin kita sudah jadi bangkai di dasar laut.”  

Ayu, yang duduk di sampingnya, menatap ayahnya dengan campuran rasa bersalah dan keteguhan. “Tapi, Yah,” ia menjawab pelan, namun suaranya penuh tekad, “kenapa itu tidak cukup untuk mengubah pandangan orang? Bukankah Tian telah membuktikan keberaniannya?”  

Pak Mahmudin menghela napas panjang, seolah mencoba menumpahkan beban di hatinya. “Nak, dunia tidak sesederhana itu. Ada batas-batas yang...”  

“Yang dibuat manusia sendiri,” potong Ayu cepat, nada suaranya penuh keberanian. “Kalau Kek Rahim dulu bisa menikah dengan Nenek Ming, kenapa sekarang semuanya jadi rumit? Bukankah mereka juga melawan batasan itu?”  

Pak Mahmudin menoleh, matanya bertemu dengan putrinya. Ia ingin menjawab, ingin memberikan penjelasan, tetapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Semua yang ada di benaknya adalah rasa takut—takut bahwa cinta ini akan membawa kehancuran bagi keluarganya. Ia hanya bisa terdiam, menatap laut yang kini terlihat begitu asing, seolah memantulkan bayangan dari keraguan di hatinya.  

***

Di pantai tersembunyi dekat Tanjung Kelayang, bayangan senja mulai memanjang. Tian dan Ayu duduk di bawah pohon ketapang tua, dahan-dahannya melindungi mereka dari mata-mata dunia. Suara ombak yang memecah di bebatuan bercampur dengan desau angin, menjadi saksi percakapan mereka yang penuh harap dan kecemasan.  

“Apa kita akan bernasib seperti Nenek Ming, Tian?” tanya Ayu dengan nada getir. Jemarinya memainkan kerang kecil yang baru saja dipungut dari pasir. “Terperangkap antara cinta dan kewajiban, tanpa bisa benar-benar memilih?”  

Tian memandang Ayu dengan tatapan yang dalam. Ia ingin menjawab, ingin meyakinkan Ayu bahwa cinta mereka akan menemukan jalan. Namun, sebelum kata-kata itu keluar, suara langkah kaki menghentak memecah keheningan.  

Dari kegelapan yang mulai menyelimuti pantai, Wu Liang muncul dengan sorot mata tajam. Wajahnya merah, tidak hanya karena teriknya hari, tetapi oleh kemarahan yang membara di dadanya. Beberapa tetua kampung—baik dari komunitas Tionghoa maupun pribumi—berdiri di belakangnya, wajah mereka menyiratkan gabungan antara rasa kecewa dan kebingungan.  

“Ini yang kau lakukan di belakangku?” desis Wu Liang, suaranya menggelegar seperti badai yang menerjang pantai. “Mencoreng nama keluarga dengan gadis kampung ini?!”  

Tian berdiri, mencoba menjembatani jarak dengan ayahnya. “Ayah, dengarkan aku. Ini bukan tentang asal-usul, ini tentang...”  

“Diam!” Wu Liang memotong dengan suara lantang, tangannya gemetar oleh emosi. “Kau bukan lagi anakku! Kau telah menghancurkan apa yang kami bangun selama generasi!”  

Wu Liang kemudian menoleh ke arah Ayu, matanya menyipit penuh ancaman. “Dan kau, gadis nelayan, jauhi anakku! Jika tidak, aku bersumpah semua nelayan di kampungmu akan kehilangan pekerjaan. Keluargamu akan menanggung akibatnya!”  

Ayu terisak pelan, dadanya bergemuruh antara marah dan takut. Tian melangkah maju, menggenggam tangan Ayu dengan erat, seolah menyalurkan keberanian lewat sentuhan mereka.  

“Ayah boleh memutuskan hubungan dengan darahku, tapi tidak dengan hatiku,” Tian berkata tegas, suaranya bergetar oleh tekad. Ia menoleh pada Ayu, menatapnya penuh keyakinan. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi, kita akan melawan ini bersama.”  

Wu Liang menatap mereka dengan rasa jijik yang mendalam, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa lagi, langkahnya bergema berat di atas pasir. Angin membawa suara desahan Ayu yang mencoba menyembunyikan tangis, sementara Tian tetap berdiri tegak, memeluk Ayu dengan penuh keberanian. Di balik ombak yang menggulung, bintang-bintang mulai bermunculan di langit, seolah-olah turut menyaksikan perjuangan cinta mereka.  

***

Musim berganti. Tian yang kini diusir dari rumah, tinggal di gudang kopra milik seorang pedagang tua. Ia bekerja menurunkan hasil tangkapan di dermaga pada siang hari, dan malamnya mengajar anak-anak kampung membaca.  

Ayu menghadapi cemoohan masyarakat. Ia mendirikan kelompok pengajian untuk anak-anak nelayan, mengajarkan toleransi dan nilai-nilai persaudaraan.  

Ketika wabah kolera melanda, Tian dan Ayu bekerja sama merawat yang sakit. Tian menggunakan ilmu pengobatan tradisional Tionghoa, sementara Ayu meramu obat dari tumbuhan lokal. Usaha mereka menyelamatkan banyak nyawa, termasuk Wu Liang, yang terserang wabah.  

“Kenapa kau masih peduli?” tanya Wu Liang, matanya sayu.  

“Karena cinta sejati tidak meminta balasan,” jawab Tian. “Dan karena Ayu mengajarkan aku melihat manusia, bukan sekadar tradisi.”  

Wu Liang terdiam. Air mata mengalir di pipinya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun