Luna - dalam wajah Aria yang asing namun familiar - terisak keras. Air matanya jatuh ke atas meja, bercampur dengan tetesan cappuccino yang tumpah. "Aku tahu aku egois," suaranya pecah, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memutih. "Setiap hari selama tiga tahun ini, aku mati sedikit demi sedikit. Setiap kali melihat fotoku di altar rumahmu dari jauh, setiap kali mendengar kabar bahwa kau masih berkabung, setiap kali Marcus mengirim foto-fotomu yang semakin kurus dan berantakan..."
Dia mengangkat wajahnya, matanya merah dan bengkak. "Tapi sekarang semuanya sudah berakhir. Ayahmu akan membusuk di penjara selama 20 tahun. Marcus dan seluruh jaringannya sudah tertangkap. Kasus ini sudah sampai ke KPK dan Interpol." Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam. "Aku kembali bukan hanya karena semua sudah aman. Aku kembali karena selama tiga tahun ini, setiap pagi aku bangun dengan satu pikiran: bagaimana bisa aku bernapas di dunia di mana kau tidak tahu aku masih hidup?"
Tangannya terulur ke arahku, gemetar. "Aku tahu aku tidak pantas mendapat maafmu. Tapi kumohon... izinkan aku menjelaskan semuanya. Bukan untuk meminta kembali apa yang sudah kuhancurkan, tapi agar kau tahu bahwa setiap detik kepura-puraan ini adalah neraka bagiku. Karena mencintaimu - dan melukai hatimu - adalah siksaan terberat yang pernah kualami."
Keheningan menyelimuti kami. Di luar, matahari mulai tenggelam, menciptakan bayangan panjang yang semakin gelap.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi?" tanyaku akhirnya. "Bagaimana aku bisa yakin ini bukan kebohongan lain?"
"Aku tidak memintamu untuk langsung memaafkanku," jawabnya pelan. "Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya. Dan jika suatu hari nanti kau bisa memaafkanku, mungkin kita bisa memulai lagi. Bukan sebagai Luna dan Aldi yang dulu, tapi sebagai orang yang berbeda."
Aku menatap wanita di hadapanku. Wajahnya mungkin berbeda, tapi matanya - mata itu masih sama. Mata yang membuatku jatuh cinta bertahun-tahun lalu.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Aku perlu waktu."
Dia mengangguk pelan, mengambil tasnya dan berdiri. "Aku mengerti. Kau tahu di mana menemukanku jika kau siap bicara lagi."
Ketika dia berjalan keluar dari kafe, aku tetap duduk di tempatku, menatap dua cangkir kopi yang mulai dingin di atas meja. Sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali dihadapkan pada pilihan. Tapi kali ini, pilihannya bukan antara cinta lama dan baru, melainkan antara memaafkan atau melepaskan.
Matahari telah sepenuhnya tenggelam ketika aku akhirnya beranjak dari kursiku. Di luar, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang yang mencoba menerangi kegelapan. Mungkin itu yang sedang kulakukan sekarang - mencoba mencari cahaya di tengah kegelapan yang telah menyelimuti hidupku selama tiga tahun terakhir.