"Aku..." dia terdiam sejenak, "ada yang ingin kuceritakan padamu."
Jantungku berdegup liar, mengetuk-ngetuk rusuk seperti hendak melarikan diri. Selama seminggu terakhir, kunjungan-kunjunganku ke apartemen Aria telah berubah menjadi semacam obsesi. Setiap langkah di ruangan itu membawaku lebih dalam ke dalam labirin misteri yang semakin membingungkan.
Apartemennya sendiri seperti cermin masa lalu yang retak - familiar namun menyimpang. Lukisan-lukisan abstrak yang tergantung miring di dinding, aroma vanilla dan kayu manis yang mengambang di udara, bahkan susunan pot-pot tanaman di balkon - semuanya menggemakan kehadiran Luna dengan cara yang mencekam.
Tapi yang paling mengusik adalah buku sketsa itu. Kutemukan tersembunyi di sudut tergelap ruang tamu, di balik tumpukan majalah arsitektur. Sampulnya using, dengan noda kopi yang membentuk lingkaran sempurna di sudut kanan - persis seperti yang selalu Luna buat saat dia terlalu asyik menggambar. Di dalamnya, sketsa-sketsa yang membuat bulu kudukku meremang: gambar sepasang tangan yang saling menggenggam di bawah hujan - detail untuk detail sama persis dengan sketsa Luna di halaman pertama buku hariannya. Pohon sakura dengan seekor burung hinggap di ranting ketiga dari kiri - Luna selalu memulai harinya dengan menggambar pemandangan ini. Bahkan goresan-goresan kasar di sudut halaman, yang selalu Luna buat saat sedang gelisah, semuanya ada di sana, seperti copy-paste dari masa lalu.
"Aku tahu ini akan terdengar gila," suara Aria memecah keheningan yang mencekik, matanya berkaca-kaca menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar air mata. "Tapi ada hal-hal dalam diriku... kenangan-kenangan yang seharusnya tidak kumiliki. Mereka datang dalam mimpi, dalam kilasan-kilasan tak terduga." Dia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat meraih cangkir kopi. "Kenangan tentangmu, Aldi. Tentang tempat ini..."
Keheningan yang menyusul terasa seperti jurang menganga di antara kami. Aria menarik napas dalam, suaranya nyaris berbisik saat melanjutkan, "...tentang Luna." Nama itu meluncur dari bibirnya seperti mantra kuno, membawa bersamanya aroma familiar yang selama ini kurindukan.
Tanganku gemetar memegang cangkir kopi. "Bagaimana kau bisa tahu tentang Luna?"
"Aku melihatnya dalam mimpi-mimpiku. Aku melihat kalian berdua di sini, di sudut ini, membicarakan masa depan kalian. Aku melihat pernikahan kalian di taman kota. Aku bahkan..." air matanya mulai menggenang, "aku ingat rasa takut yang luar biasa malam itu, malam kecelakaan itu."
Duniaku berputar. Selama ini aku yakin Aria adalah reinkarnasi Luna. Tapi sekarang...
"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku, suaraku bergetar.
Aria - atau Luna? - mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop coklat. "Ini akan menjelaskan semuanya."