Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Kedua

5 Januari 2025   05:02 Diperbarui: 5 Januari 2025   05:02 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Sinar matahari sore menerobos jendela kafe, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu. Aku duduk di sudut ruangan, tempat favoritku dan Luna dulu. Secangkir kopi hitam mengepul di hadapanku, sama seperti tiga tahun lalu saat terakhir kali kami berdua di sini.

Tiga tahun berlalu sejak malam mengerikan itu. Malam yang seharusnya menjadi perayaan ulang tahun pernikahan kami yang pertama, berubah menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Mobil Luna ditemukan terbalik di dasar jurang, dilalap api yang begitu ganas hingga menelan segalanya. Yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan kenangan dan cincin pernikahan kami yang hangus - cincin yang kutemukan tergeletak lima meter dari bangkai mobil, masih berkilau redup seolah menertawakan takdir.

Polisi bilang Luna tewas seketika, tapi tak ada jejak DNA yang bisa memastikan teori mereka. Tak ada sidik jari. Tak ada bukti konkret. Hanya spekulasi dan simpati yang terasa hampa. Setiap malam aku masih terbangun, bermandikan keringat dingin, dihantui pertanyaan yang sama: bagaimana mungkin api bisa menghanguskan segalanya, tapi menyisakan cincin itu dalam kondisi yang masih bisa dikenali?

Lamunanku buyar ketika sosok itu melangkah masuk. Waktu seakan membeku. Jantungku berhenti berdetak untuk sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Wanita itu - dengan rambut hitam panjang yang jatuh sempurna membingkai wajahnya, gerakan anggun yang seolah menari di atas lantai, dan gestur kecil saat jemarinya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga - adalah Luna yang bangkit dari abu. Bahkan caranya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari-cari sesuatu dengan sorot mata yang teduh namun tajam, persis seperti yang selalu dilakukan Luna.

Namanya Aria. Setidaknya itulah yang tertulis di kartu nama berwarna pastel yang ia sodorkan padaku minggu lalu, saat takdir - atau mungkin sesuatu yang lebih gelap - mempertemukan kami di tempat yang sama. Kartu nama itu kini kusimpan dalam dompet, tepat di samping foto usang Luna, seperti dua keping puzzle yang entah bagaimana terasa saling melengkapi sekaligus mengusik.

"Aldi?" Suaranya lembut memanggilku. "Maaf aku terlambat."

Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Duduklah."

Aria memesan cappuccino dengan ekstra karamel - minuman favorit Luna. Kebetulan yang terlalu sempurna.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya, matanya menatapku dengan cara yang begitu familiar.

"Baik," jawabku singkat, berusaha menahan diri untuk tidak tenggelam dalam memori. "Bagaimana denganmu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun