Mungkin inilah tanda yang Allah kirimkan, pikir Slamet. Mungkin inilah cara-Nya untuk mengatakan bahwa kadang kita perlu melepaskan sesuatu yang kita cintai untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.Â
Dengan pelan, ia menoleh kepada Tati, dan berkata dengan suara berat, "Bu, mungkin… mungkin sudah saatnya kita mulai dari awal lagi. Di tempat baru. Mungkin ini kesempatan kita."
Tati menatap suaminya dengan mata penuh haru, masih terisak, namun ada secercah harapan di sana. Ia mengangguk pelan, "Yang penting kita sama-sama, Met. Tak ada yang lebih penting dari itu."
Di kejauhan, azan subuh mulai berkumandang dari masjid kompleks, suara adzan yang penuh kedamaian mengisi angkasa. Langit Parakan Muncang perlahan berubah menjadi merah muda, pertanda fajar yang akan segera menyingsing, mengusir kegelapan malam.
Slamet memeluk istrinya erat-erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang tak pernah ia hargai sebelumnya. Ia menatap puing-puing rumah mereka yang kini berasap, terasa berat di dadanya. Dalam genggamannya, amplop cokelat itu terasa begitu ringan, terlalu ringan, seiring dengan beban di hati yang akhirnya bisa menerima kenyataan. Kadang, kehilangan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari penemuan baru—penemuan tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H