“KEBAKARAN! KEBAKARAN!”
Teriakan itu memecah keheningan malam yang sunyi di Kompleks Griya Asri, Parakan Muncang. Api yang membara melahap salah satu rumah di Blok C, merayap dengan liar dan ganas, menari-nari di udara malam. Sinar oranye yang menyilaukan menyemburat ke langit, seperti pertanda kebinasaan. Beberapa orang terbangun dari tidur mereka, berlari panik keluar rumah, sebagian mengenakan pakaian tidur yang masih lusuh.
"Rumah siapa itu?"
"Rumahnya Pak Slamet!"
"Ya Allah, katanya dia masih di dalam!"
"Panggil damkar! Cepat!"
Di tengah kekacauan yang melanda, sebuah bayangan muncul dari balik asap tebal. Sebuah sosok lelaki berlari tanpa rasa takut, menembus gelombang api yang semakin mengamuk. Pak Karyo, sang satpam kompleks yang biasanya tenang, berteriak dengan suara parau, “SLAMET! JANGAN GILA KAU!”
Namun, teriakan Pak Karyo tak mampu menahan tekad yang sudah bulat di dalam diri Slamet. Ia tidak peduli. Tidak peduli dengan api yang semakin menggila, dengan bahaya yang mengintai di setiap sudut rumah yang kini jadi neraka itu. Dalam benaknya hanya ada satu hal: amplop cokelat di dalam laci meja kerjanya. Amplop yang berisi lima juta rupiah—hasil jerih payahnya selama tiga bulan sebagai tukang parkir malam. Uang yang dijanjikan untuk melunasi biaya rumah sakit Dani, sahabatnya yang tengah sekarat.
"Jika aku gagal, Dani akan mati!" pikir Slamet dengan suara yang hanya terdengar dalam hati. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti langkah menuju ajal, namun ia tak bisa mundur. Uang itu adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan teman yang sudah seperti saudara baginya.
Asap tebal kini menggerogoti paru-parunya. Ia terbatuk hebat, matanya pedih, dan pandangannya mulai kabur. Tapi ia tak menyerah. Perlahan-lahan ia merangkak, melawan hawa panas yang membuat tubuhnya terasa seperti terbakar hidup-hidup. Tangannya yang penuh luka tersangkut di barang-barang yang tergeletak di lantai, tetapi ia tak peduli. Semuanya demi satu tujuan—amplop itu.