Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Kopi Kak Dayang

15 Desember 2024   15:52 Diperbarui: 15 Desember 2024   15:52 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sudut jalan Teratai, persis di samping salon "Cantik Express" yang selalu sepi, berdiri warung kopi sederhana milik Kak Dayang. Menu andalannya hanya kopi tubruk dan pisang goreng, tapi entah mengapa warung ini selalu ramai oleh ibu-ibu dari pagi hingga sore. Bahkan seringkali terdengar tawa berderai dari dalam warung, membuat orang-orang yang lewat mengernyitkan dahi heran.

"Kak Dayang, seperti biasa ya," ujar Mbak Nining, pelanggan setia yang baru masuk. Wajahnya sembab, seperti habis menangis.

"Kopi tubruk tambah pisang goreng keju ya, Mbak? Duduk dulu, nanti saya antarkan," sahut Kak Dayang sambil tersenyum maklum. Ia sudah hafal, kalau pelanggannya datang dengan wajah sembab, pasti ada masalah dengan suami.

Di dalam warung yang diterangi lampu neon kekuningan, tiga sosok ibu-ibu duduk mengelilingi meja bundar berbahan plastik biru yang sudah sedikit pudar. Aroma kopi bercampur dengan wangi pengharum ruangan aroma vanila yang diletakkan Bu Ratna di sudut warung. Suara kipas angin yang berputar pelan di langit-langit mengiringi obrolan mereka.

Bu Yanti, dengan tas Herms asli tersampir di sandaran kursi, duduk sambil sesekali mengecek ponsel iPhone terbaru miliknya. Gelang-gelang emas di tangannya bergerincing setiap kali dia mengangkat cangkir kopi. Di luar, Land Rover hitam mengkilat terparkir tepat di depan warung -- mobil terbarunya bulan ini, menggantikan Mercedes yang katanya sudah membosankan. Namun, di balik penampilan mewahnya, matanya menyiratkan kelelahan yang sama seperti pelanggan warung lainnya.

Di sebelahnya, Bu Dewi -- yang murid-muridnya juluki "Singa Betina" -- duduk dengan postur yang sangat berbeda dari gayanya di sekolah. Tidak ada lagi suara lantang yang biasa menggema di koridor SD Harapan Bangsa. Guru matematika yang terkenal dengan penggaris kayunya itu kini mengenakan daster sederhana bermotif bunga-bunga, jauh dari blazer rapi yang biasa ia kenakan. Bahunya terkulai, seolah menanggalkan segala topeng ketegasan yang ia pakai di sekolah.

Sementara Bu Lisa, seperti biasa, tampil bak model majalah fashion dengan dress branded dan sepatu Christian Louboutin merah menyala. Make-upnya sempurna tanpa cela -- hasil dari tangan profesional di salon langganannya -- dengan lipstik merah yang senada dengan sepatunya. Rambut hitamnya yang berkilau tertata dalam sanggul modern yang elegan. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada bekas air mata yang tertutup concealer mahal di bawah matanya. Butik miliknya mungkin selalu ramai dengan sosialita kota, tapi hatinya sesepi gudang baju yang tak terjual.

Mereka bertiga duduk rapat, menciptakan lingkaran eksklusif yang hanya dimasuki oleh sesama "korban". Cangkir-cangkir kopi yang sudah setengah kosong dan piring pisang goreng yang tinggal remah-remahnya menjadi saksi bisu curahan hati mereka. Dari luar, mungkin mereka tampak seperti ibu-ibu arisan biasa yang sedang bergosip. Tapi di warung Bu Ratna, mereka adalah sesama penyintas yang saling menguatkan, berbagi cerita dan air mata yang tersembunyi di balik tawa yang sesekali pecah memenuhi ruangan.

Dinding warung yang dicat krem dengan beberapa bagian mulai mengelupas seolah menyimpan ribuan kisah yang telah dibagi di tempat ini. Poster-poster lama produk kopi dan beberapa foto landscapes yang dipajang seadanya menambah kesan homey pada warung yang tak lebih dari 5x6 meter itu. Ada juga papan tulis kecil yang menggantung miring, menampilkan menu sederhana dengan harga yang tak pernah berubah selama bertahun-tahun -- seolah menjadi metafora bahwa di tengah segala perubahan hidup yang pahit, setidaknya ada beberapa hal yang tetap bisa diandalkan.

"Sini Mbak Nining, gabung!" ajak Bu Yanti. "Baru dapat kiriman foto WA dari tetangga ya?"

Mbak Nining mengangguk lemah. "Iya Bu, suami saya ketahuan lagi jalan sama SPG di mall. Padahal kemarin baru janji mau berubah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun