Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah di Tanjung Kelayang

8 Desember 2024   07:40 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:20 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nanti kamu juga akan terbiasa dengan kehidupan di sini," kata Rizal sambil membelai rambutku yang dibalut hijab biru muda. Tangan hangatnya yang lembut menyentuh rambutku, memberikan rasa tenang yang kurindukan setelah kepindahan kami dari Jakarta. Aku mengangguk pelan, mataku tak bisa lepas dari hamparan laut yang terbentang luas di depan rumah kami. 

Laut Belitung, dengan airnya yang berkilau keemasan di bawah sinar matahari pagi, seolah mengundang hati untuk terpesona. Pemandangan itu benar-benar menggetarkan, menenangkan hati yang semula risau dengan perubahan besar dalam hidup kami. Rumah kami, yang terletak di Tanjung Kelayang, menghadap langsung ke laut, dengan batu granit besar yang menjadi ikon Belitung di kejauhan. Batu-batu granit itu tampak seperti penjaga yang setia, berdiri kokoh meskipun dihantam ombak yang tak pernah berhenti. Ini adalah tempat yang seakan-akan muncul dari mimpi, sebuah ketenangan yang sulit ditemukan di Jakarta, sebuah ruang yang memberi kedamaian jiwa.

Baru dua minggu kami pindah dari kota metropolitan itu. Rizal dipindahtugaskan ke kantor cabang tempatnya bekerja di Belitung. Awalnya, aku ragu, keraguan yang tumbuh seiring dengan ketidakpastian hidup di tempat yang asing. Hidup di Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya memberikan kenyamanan tersendiri, meskipun aku tahu kami membutuhkan perubahan. 

Di Jakarta, kehidupan kami seperti roda yang terus berputar tanpa henti. Pagi dimulai dengan deru kendaraan di jalan raya yang padat, sementara malam diakhiri dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, seolah tak pernah benar-benar tidur. Segala sesuatu terasa serba cepat dan mendesak. Ada kelebihan, tentu saja---kemudahan akses ke segala hal, mulai dari pusat perbelanjaan modern hingga fasilitas kesehatan terbaik. Namun, di balik semua itu, ada kelelahan yang sering kali tak terucapkan, seakan-akan kami terus berlari mengejar waktu yang tak pernah cukup.

Belitung, di sisi lain, adalah dunia yang sepenuhnya berbeda. Suasana di sini jauh lebih tenang, nyaris terasa lambat jika dibandingkan dengan Jakarta. Pagi hari dimulai dengan suara burung berkicau, udara segar yang belum tercemar, dan pemandangan pantai yang memukau. Tidak ada kemacetan, tidak ada desakan orang-orang yang berlomba-lomba mengejar sesuatu. Namun, aku harus mengakui, di balik keindahannya, ada keterbatasan. Tidak semua kebutuhan mudah ditemukan, dan hiburan modern hampir tidak tersedia. Belitung menawarkan kesederhanaan, tetapi menuntut kami untuk menyesuaikan diri dengan ritme yang baru.

Jakarta memberikan kenyamanan melalui modernitasnya, sementara Belitung menawarkan kedamaian melalui kealamiannya. Keduanya memiliki daya tarik masing-masing, dan aku sadar, proses pindah ini bukan sekadar perubahan tempat tinggal. Ini adalah perjalanan untuk menemukan keseimbangan baru dalam hidup kami. 

Namun, begitu aku tiba di sini dan melihat betapa indahnya pulau ini, semua keraguan itu mulai pudar. Keindahan alamnya, dengan laut yang tenang dan penduduk yang ramah, perlahan-lahan membuatku jatuh cinta pada Belitung. Aku menyadari, tempat ini menawarkan lebih dari sekadar ketenangan fisik, tapi juga kedamaian batin yang tak bisa kubayangkan sebelumnya.

Pagi ini, setelah Rizal berangkat kerja, aku memutuskan untuk menata kebun kecil di halaman. Udara Belitung yang hangat dan segar, yang sedikit lebih lembab karena musim hujan yang baru berlalu, terasa sangat cocok untuk menanam bunga-bunga tropis. Kami telah membeli beberapa bibit kembang kertas, melati, dan bunga raya dari pasar tradisional Tanjung Pandan. Aku membayangkan kebun kecil ini akan menjadi tempat yang penuh warna, dengan bunga-bunga tropis yang merekah seiring berjalannya waktu. Rasanya, setiap inci tanah di halaman ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan kenangan baru di pulau ini, seperti tanaman yang mulai berakar, tumbuh, dan mekar mengikuti perjalanan waktu yang kami jalani.

Saat sedang menanam, aku mendengar suara mobil berhenti di rumah sebelah. Aku menoleh, dan melihat seorang bapak berusia sekitar 60 tahun turun membawa beberapa kantong belanjaan. Pak Iskandar, tetangga kami yang kata Rizal adalah mantan kapten kapal yang sudah pensiun, tampak berjalan pelan dengan postur tubuhnya yang tegap, meski usianya sudah tidak muda lagi. Seakan-akan, meski tubuhnya tak lagi muda, semangatnya masih membara seperti saat dia berada di atas kapal yang mengarungi luasnya laut. Dia tinggal bersama istrinya, Bu Mariam, yang belum pernah kutemui sebelumnya.

"Selamat pagi, Dik!" sapanya dengan logat Melayu yang kental, terdengar ramah dan bersahabat. Suaranya yang khas seolah menyambutku dengan kehangatan khas Belitung. "Sudah mulai betah di Belitung?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun