Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah di Tanjung Kelayang

8 Desember 2024   07:40 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:20 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Alhamdulillah, Pak," jawabku sambil tersenyum, meskipun dalam hati aku merasa masih ada banyak yang harus kutelusuri di pulau ini. "Belitung indah sekali."

"Nanti harus ketemu sama istri saya. Dia pintar masak masakan Belitung. Bisa belajar bikin gangan, rusip, sama rintak," katanya bersemangat, matanya berbinar-binar. "Dia senang kalau ada yang mau belajar masakan tradisional." Suaranya yang hangat dan bersahabat seolah mengundang untuk berbincang lebih lama, menawarkan dunia baru yang penuh kehangatan dan cerita-cerita tentang Belitung.

Aku membayangkan bisa memiliki teman baru di sini, belajar masakan Belitung yang kaya rasa, dan mendengar cerita-cerita tentang pulau ini. Mungkin kami bisa bertukar resep atau sekadar ngobrol sore-sore sambil menikmati kopi pasir khas Belitung, menikmati suasana santai yang baru kubayangkan, dengan angin laut yang berbisik lembut di telinga.

Minggu berikutnya, Rizal mengajakku bertamu ke rumah Pak Iskandar. Aku membawa lepat singkong yang baru kupelajari membuatnya dari tutorial Youtube. Aku merasa bangga dengan hasil masakanku, meskipun sederhana, tapi terasa lebih bermakna karena bisa berbagi dengan orang baru. Rizal memandangku dengan senyum bangga, seolah bangga dengan hasil masakanku yang sederhana itu. Pak Iskandar menyambut kami dengan senyum hangat khas orang Melayu, senyum yang tulus, membuat siapa pun merasa diterima tanpa syarat.

"Bu Mariam pasti senang ada yang bawa lepat," katanya, sambil melambaikan tangan. "Dia ada di beranda belakang."

Kami mengikuti langkah Pak Iskandar menuju beranda belakang rumah, yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang berhembus perlahan membawa aroma asin yang khas, membawa kesejukan yang langsung terasa menenangkan. Di sana, aku melihat seorang wanita duduk di kursi roda. Rambutnya putih digelung rapi, wajahnya teduh dengan guratan-guratan kebijaksanaan, memancarkan kedamaian yang luar biasa. Usianya mungkin sekitar 60 tahun, namun matanya masih menyimpan kilau kehidupan yang dalam, seolah setiap detik hidupnya penuh makna. Aku tak bisa menahan diri untuk merasa kagum pada ketenangan yang terpancar dari dirinya.

"Mariam, ini tetangga baru kita," kata Pak Iskandar dengan suara lembut, sambil mengarahkan tangannya ke arahku.

Bu Mariam tersenyum dengan senyum yang sangat hangat, senyum yang mampu menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Matanya berbinar melihat lepat yang kubawa. "Masyaallah, sudah lama tak makan lepat. Terakhir sebelum stroke tiga tahun lalu," katanya dengan suara lembut yang penuh rasa terima kasih, matanya tampak berkaca-kaca. Hatiku langsung terenyuh mendengar cerita itu. Ternyata, sebatang lepat singkong sederhana pun bisa membawa kebahagiaan bagi seseorang.

Hatiku tersentuh mendalam melihat cara Pak Iskandar merawat istrinya. Dia memotong lepat dengan hati-hati dan menyuapinya perlahan, seolah setiap suapan adalah bentuk kasih sayang yang tak terucapkan. Mereka berdua bercerita tentang masa muda mereka, saat Pak Iskandar masih menjadi kapten kapal timah yang menjelajahi laut Belitung. Bu Mariam selalu setia menunggu di rumah ini, menatap laut sambil berharap suaminya pulang dengan selamat, sebuah gambaran cinta yang tidak terucap, namun begitu kuat terasa.

"Pak Is selalu bilang aku ini cantik seperti putri raja Balok," kata Bu Mariam dengan tawa kecil yang penuh kelembutan, merujuk pada legenda Belitung yang terkenal. Pak Iskandar menggenggam tangannya dengan penuh sayang, matanya berbinar, dan senyumannya tulus, seperti seorang pria muda yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya, meski usia mereka telah menua.

"Memang betul, sampai sekarang masih secantik dulu," sahut Pak Iskandar sambil tersenyum, suaranya penuh dengan kelembutan dan ketulusan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka berdua tampak seperti dua jiwa yang saling melengkapi, bahkan setelah bertahun-tahun bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun