Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradoks Pendidikan: Moralitas Guru di Balik Kesejahteraan Finansial

6 Desember 2024   10:11 Diperbarui: 6 Desember 2024   10:26 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisannya di harian Kompas bertanggal 6 Desember 2024 dengan judul "Gula-gula untuk Guru", Saifur Rohman, pengajar Filsafat pada Program Doktor Universitas Negeri Jakarta, mengungkap sebuah fenomena kompleks yang membingungkan dalam dunia pendidikan. Melalui analisis mendalam, Rohman menghadirkan sebuah paradoks yang menantang logika umum: justru di sekolah-sekolah dengan tingkat kesejahteraan guru yang memadai, kasus-kasus kejahatan dalam praktik pembelajaran kerap bermunculan. 

Kontras dengan realitas tersebut, guru-guru di daerah pinggiran yang seolah diabaikan dan tidak mendapatkan sokongan keuangan memadai, tetap menunjukkan ketangguhan luar biasa dalam menjalankan tugas mulia mendidik. Temuan Rohman membuka ruang kritik yang sangat penting untuk memahami hakikat pendidikan di luar sekadar urusan materi, menggugah kita untuk merenungkan kembali makna sejati pengabdian dalam dunia pendidikan.

Pendidikan merupakan fondasi utama pembangunan karakter bangsa, dengan guru sebagai pilar sentral dalam mentransformasikan pengetahuan dan nilai moral kepada generasi muda. Namun, realitas kontemporer memperlihatkan fenomena yang mengejutkan: sekolah-sekolah dengan tingkat kesejahteraan guru yang tinggi justru rentan terhadap berbagai kasus kejahatan dan penyimpangan, sementara para pendidik di daerah terpencil dengan kondisi finansial terbatas tetap mempertahankan integritas dan dedikasi luar biasa.

Pada dasarnya, kesejahteraan finansial seharusnya menjadi faktor pendukung peningkatan kualitas pendidikan. Logika sederhana menyatakan bahwa guru yang memperoleh penghasilan memadai akan lebih fokus, profesional, dan memiliki ruang untuk pengembangan diri. Namun, fakta di lapangan menunjukkan narasi yang berbeda—sebuah kontradiksi yang mempertanyakan hubungan langsung antara kesejahteraan material dengan integritas moral.

Ketika kompensasi finansial menjadi fokus utama, guru berpotensi kehilangan panggilan sejati mengajar. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai misi mulia mentransformasi generasi, melainkan sekadar komoditas atau pekerjaan rutin untuk mendapatkan penghasilan. Kesejahteraan yang berlebih dapat menciptakan zona nyaman yang melemahkan semangat pengabdian, membuat para guru mungkin kehilangan empati dan koneksi emosional dengan peserta didik, menggantinya dengan pendekatan mekanis dan transaksional.

Dengan sumber daya finansial yang mencukupi, beberapa guru justru mengembangkan perilaku eksploitatif, memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi alih-alih melayani kepentingan edukasi. Risiko penyalahgunaan wewenang menjadi nyata ketika uang menggantikan panggilan moral dalam dunia pendidikan.

Kontras dengan fenomena tersebut, guru-guru di daerah pinggiran memperlihatkan ketangguhan moral yang menginspirasi. Meskipun menghadapi keterbatasan finansial, mereka tetap konsisten mendedikasikan diri dalam mendidik, menunjukkan bahwa integritas tidak ditentukan oleh besaran gaji. Panggilan mengajar mereka berasal dari kesadaran mendalam akan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mencari penghasilan.

Kedekatan emosional dengan komunitas menjadi faktor penting dalam mendorong semangat mereka. Guru-guru di daerah terpencil memiliki ikatan kuat dengan lingkungannya, yang mendorong mereka untuk terus berkontribusi meski dalam kondisi sulit. Keterbatasan justru mendorong mereka untuk lebih inovatif dalam mengatasi tantangan pendidikan, mengembangkan pendekatan kreatif yang lebih bermakna.

Fenomena ini mengungkap kelemahan fundamental dalam sistem pendidikan. Kesejahteraan finansial memang penting, namun tidak boleh menggantikan atau melemahkan misi utama pendidikan—membentuk karakter dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dibutuhkan pendekatan holistik yang tidak hanya memperhatikan aspek materi, tetapi juga memelihara spirit pengabdian.

Ke depan, sistem pendidikan perlu merancang mekanisme yang lebih komprehensif. Kurikulum harus secara eksplisit mengembangkan integritas moral. Proses rekrutmen guru tidak sekadar menilai kemampuan akademis, melainkan juga motivasi, empati, dan dedikasi. Program pembinaan berkelanjutan perlu difokuskan pada pengembangan karakter dan profesionalisme sejati.

Paradoks antara kesejahteraan dan moralitas guru membawa kita pada refleksi mendalam: pendidikan sejati tidak pernah tentang materi, melainkan tentang transformasi. Kesuksesan seorang guru tidak diukur dari besarnya gaji, melainkan dari dampak positif yang ditinggalkannya pada jiwa-jiwa muda yang dibimbingnya.

Para guru—baik yang berada di sekolah kaya maupun di daerah terpencil—perlu senantiasa menyadari bahwa mereka adalah arsitek peradaban, penentu masa depan bangsa. Kesejahteraan finansial adalah alat, bukan tujuan. Yang sesungguhnya bernilai adalah semangat pengabdian, integritas, dan cinta akan pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun