Beberapa hari yang lalu, muncul sebuah kejadian yang cukup memprihatinkan di dunia dakwah Indonesia, di mana seorang pendakwah membuat lelucon dengan mengolok-olok pedagang es teh menggunakan kata-kata kasar. Meskipun niatnya untuk menghibur dan membuat jamaahnya tertawa, tindakan tersebut justru menimbulkan berbagai persoalan etis dan sosial yang perlu dikaji secara mendalam.
Pertama, kita perlu memahami bahwa profesi pedagang es teh adalah pekerjaan yang mulia dan halal. Dalam ajaran Islam sendiri, berdagang merupakan salah satu mata pencaharian yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Rasulullah bahkan pernah bersabda bahwa pedagang yang jujur dan amanah akan dikumpulkan bersama para nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), dan para syuhada di hari kiamat.
 Dengan demikian, mengolok-olok pedagang, terlepas dari apa yang mereka jual, sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang pendakwah.
Kedua, penggunaan humor yang merendahkan martabat orang lain mencerminkan kedangkalan dalam memahami esensi dakwah. Dakwah seharusnya menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan, mengajak kepada kebajikan, dan membangun masyarakat yang lebih bermartabat. Ketika seorang pendakwah menggunakan humor yang merendahkan, ia justru memberikan contoh buruk kepada jamaahnya dan secara tidak langsung melegitimasi perilaku bullying dalam masyarakat.
Dampak dari humor yang merendahkan ini sebenarnya sangat luas. Ketika seorang tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan melontarkan candaan yang merendahkan suatu profesi, hal ini dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap profesi tersebut. Para pedagang es teh, yang sehari-hari berjuang mencari nafkah halal untuk menghidupi keluarga mereka, bisa jadi mengalami dampak psikologis dan sosial dari olok-olok tersebut.
Lebih jauh lagi, fenomena ini juga mencerminkan suatu kecenderungan dalam masyarakat kita untuk menormalisasi humor yang merendahkan. Seringkali, demi mendapatkan tawa atau popularitas, seseorang rela mengorbankan martabat orang lain. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai agama yang mengajarkan untuk saling menghormati dan menjaga kehormatan sesama.
Dalam konteks dakwah, seorang pendakwah seharusnya mampu menghadirkan humor yang cerdas, mendidik, dan tidak menyakiti perasaan siapapun. Ada banyak cara untuk membuat jamaah tersenyum dan tertawa tanpa harus merendahkan martabat orang lain. Humor yang baik adalah humor yang mengangkat derajat kemanusiaan, bukan merendahkannya.
Para ulama dan cendekiawan Muslim telah banyak memberikan teladan tentang bagaimana menyampaikan dakwah dengan cara yang bijaksana dan menenangkan, Para ulama menekankan pentingnya menjaga adab dan etika dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Ulama juga mengajarkan bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut seorang Muslim, termasuk candaan, harus membawa manfaat dan tidak menyakiti hati orang lain.
Kejadian ini juga menjadi cermin bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih dan mengikuti pendakwah. Popularitas dan kemampuan menghibur tidak boleh menjadi satu-satunya kriteria dalam menilai kredibilitas seorang pendakwah. Yang lebih penting adalah bagaimana pendakwah tersebut mampu menyampaikan nilai-nilai agama dengan cara yang benar, bijaksana, dan menghormati martabat setiap manusia.
Sebagai solusi, perlu ada upaya kolektif untuk membangun kesadaran tentang pentingnya humor yang sehat dan bermartabat dalam dakwah. Para pendakwah perlu dibekali pemahaman yang mendalam tentang etika berkomunikasi dan dampak sosial dari setiap perkataan mereka. Organisasi-organisasi keagamaan juga perlu mengambil peran dalam memberikan panduan dan standar etika bagi para pendakwah.