Tiga bulan berlalu bagai hembusan angin. Perubahan mulai terlihat di setiap sudut sekolah. Siswa-siswa yang tadinya pasif mulai berani menunjukkan bakat mereka dalam berbagai bidang. Nilai ujian Dani memang masih pas-pasan, tapi portofolio karyanya yang mengesankan membuat nilai akhirnya memuaskan. Lebih dari itu, rasa percaya dirinya tumbuh, dan semangatnya menular kepada teman-temannya.
Di akhir semester, ketika daun-daun mulai berguguran di halaman sekolah, Bu Sarah kembali memanggil Dani ke ruangannya. Senyum bangga tersungging di bibirnya saat ia mengangkat sebuah amplop resmi. "Selamat, Dani. Esaimu memenangkan lomba tingkat nasional."
Dani tersipu, rona merah mewarnai pipinya. "Ini semua berkat dukungan Bu Sarah dan Pak Rudi. Saya jadi lebih percaya diri menulis setelah tahu bahwa sekolah menghargai karya-karya kami." Suaranya bergetar menahan haru.
Bu Sarah menatap keluar jendela, memandang langit sore yang mulai memerah. Perubahan sistem penilaian yang ia perjuangkan memang menambah pekerjaan guru, tapi hasilnya sepadan. Ia telah membuktikan bahwa pendidikan yang baik harus mampu melihat dan mengembangkan potensi setiap siswa, tidak hanya dari nilai ujian semata.
"Ingat, Dani," kata Bu Sarah menutup pembicaraan, suaranya lembut namun penuh makna, "nilai terbaik adalah ketika kamu bisa memberi manfaat untuk orang lain melalui apa yang kamu kuasai. Teruslah menulis dan menginspirasi."
Saat Dani melangkah keluar dari ruangannya, Bu Sarah tersenyum puas. Di mejanya, tumpukan kertas ujian yang dulu terasa memberatkan kini tampak berbeda. Ia sadar, setiap lembar kertas itu hanyalah satu bagian kecil dari puzzle besar bernama pendidikan. Yang terpenting adalah bagaimana membantu setiap siswa menemukan dan mengembangkan potensi terbaik mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H