Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tapak Kaki Sendiri

30 November 2024   20:40 Diperbarui: 30 November 2024   20:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Canva 

Mentari pagi memancar lembut melalui jendela kamarku, menyinari tumpukan buku dan sketsa yang berserakan di meja. Cahaya kuning keemasan itu seolah membawa secercah harapan di tengah kegelisahan hatiku. Aku, Aria, duduk terdiam sambil memandangi deretan foto teman-temanku di dinding. Semuanya tampak begitu sempurna: prestasi akademis cemerlang, pengalaman organisasi mengesankan, bahkan sudah mulai merintis bisnis kecil-kecilan.

Kamarku adalah saksi bisu pergolakan batinku. Dinding berwarna krem pucat ini menyimpan jutaan mimpi yang selama ini aku sembunyikan. Setiap sudut ruangan berbicara tentang diriku - sketsa yang belum selesai, buku-buku seni yang terbuka setengah, dan beberapa kanvas kosong yang menunggu sentuhan pertama. Pikiran berkecamuk seperti awan mendung di musim penghujan. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban berputar-putar dalam kepalaku: Siapakah diriku sebenarnya? Akankah aku bisa memenuhi harapan orangtua? Atau akankah aku memilih untuk mendengarkan suara hatiku sendiri?

Dan di situlah aku, terpaku dengan segudang pertanyaan dan keraguan.

Sejak kecil, aku selalu merasa berbeda. Teman-temanku dengan mudah mengikuti alur yang sudah ditetapkan: nilai bagus, masuk ekskul favorit, meraih prestasi. Sementara aku? Selalu merasa tersesat di antara ekspektasi dan kenyataan. Setiap kali melihat mereka bergerak dengan percaya diri, hatiku mencelos. Aku seperti serpihan kaca yang tidak pas dengan bingkai yang sudah ditentukan.

Ayahku seorang pengusaha sukses, ibuku seorang dokter terkenal. Mereka selalu memiliki harapan tinggi padaku. "Aria," kata mereka, "kamu harus mengikuti jejak kami. Masa depan sudah terukir dengan jelas." Seolah hidupku adalah sebuah draft yang tinggal disempurnakan, tanpa ruang untuk improvisasi.

Tapi benarkah begitu?

Di semester terakhir SMA, ketika teman-temanku sibuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi, aku justru merasa hampa. Pilihan jurusan yang diharapkan orangtua tidak pernah sesuai dengan apa yang ada di dalam hatiku. Setiap malam, aku terjaga. Pikiranku melayang pada mimpi-mimpi yang tak terucap, pada hasrat untuk menciptakan sesuatu yang berasal murni dari dalam diriku.

Suasana sore itu begitu teduh ketika aku berbicara dengan Kak Dian, kakak kelasku yang dulu pernah menjadi juara olimpiade. Dia sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama. Cahaya senja membuat bayangan kami memanjang di koridor sekolah.

"Kak," ucapku ragu, "bagaimana kalau aku tidak ingin mengikuti jalur yang sudah direncanakan?"

Kak Dian tersenyum. "Setiap orang memiliki jalannya sendiri, Aria. Jangan pernah merasa rendah diri karena berbeda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun