Bel istirahat berbunyi, namun Pak Yayat tidak langsung meninggalkan kelas. Murid-muridnya masih berkumpul, menatapnya dengan penuh perhatian setelah mendengar beragam kabar tentang tunjangan guru yang beredar di luar sana.
Ruang kelas sederhana itu terasa pengap. Dinding-dinding papan yang sudah menguning menyimpan jutaan kenangan. Setiap sudut ruangan berbicara tentang perjuangan pendidikan di desa terpencil. Papan tulis yang sudah usang, beberapa kursi yang retak, dan jendela kaca yang mulai pecah menjadi saksi bisu dedikasi seorang guru.
Di balik sederhana ruangan ini, tersimpan kisah perjuangan Pak Yayat yang tak terlihat. Ia adalah seorang guru yang telah mengabdikan hidupnya di desa terpencil ini selama puluhan tahun. Setiap bekas goresan kapur di papan tulis, setiap lipatan buku tua di mejanya, menceritakan perjalanan panjang seorang pendidik yang tak kenal lelah. Ia tidak pernah mempermasalahkan keterbatasan fasilitas atau minimnya kesejahteraan. Baginya, setiap anak didik adalah harapan masa depan yang harus diasuh, dibimbing, dan dicerahkan.
Dalam hati kecilnya, Pak Yayat tahu bahwa pengabdian tidak bisa diukur dengan materi. Ia masih ingat betapa sulitnya mendapatkan kepercayaan masyarakat desa untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Kini, melihat murid-muridnya yang antusias, ia merasa setiap tetes keringat dan air mata yang ia curahkan tidaklah sia-sia.
"Anak-anak," ujarnya tenang, "mari kita bicarakan tentang informasi yang kalian dengar."
Adi, murid paling kritis di kelas, langsung mengacungkan tangan. Ia anak seorang petani yang selalu haus akan pengetahuan. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. "Pak, benarkah guru akan dapat tambahan gaji 2 juta?"
Maya, siswi bermimpi menjadi dokter, menatap Adi dengan sedikit kagum. Ia tahu betul bagaimana temannya itu selalu berani mengungkapkan pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Dalam hatinya, ia berharap suatu saat nanti bisa seperti Pak Yayat - sosok yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi.
Pak Yayat tersenyum. Ia menurunkan sebuah peta konsep di papan tulis, menjelaskan dengan sabar tentang Tunjangan Profesi Guru (TPG). Setiap garis yang ia tarik menjelaskan detail sertifikasi, menunjukkan bahwa tunjangan ini bukanlah hal baru.
Maya, dengan rambut hitam tersisir rapi, memperhatikan dengan seksama. Seragam putih bersihnya menyembunyikan latar belakang keluarga sederhana. "Jadi bukan uang baru, Pak?"
"Tepat," balas Pak Yayat. "Ini pengakuan akan profesionalisme guru, bukan sekadar uang."