Beberapa murid lain mulai bertanya. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, membentuk diskusi yang hidup. Pak Yayat tidak sekadar menjawab, tetapi membimbing mereka untuk berpikir kritis.
"Media sosial," ujarnya, "bisa dengan cepat menyebarkan informasi. Tapi kalian harus selalu memeriksa kebenarannya. Jangan mudah terpancing isu yang tidak berdasar."
Ia menjelaskan panjang lebar tentang sertifikasi guru. Bahwa tunjangan profesi sudah ada sejak lama, sejak era Presiden SBY. Bukan sekadar tambahan uang, melainkan pengakuan akan dedikasi para pendidik.
Di luar jendela, pepohonan bergoyang. Dedaunan hijau seakan turut menyimak pelajaran yang tak biasa ini. Bukan sekadar materi akademis, melainkan pelajaran tentang kehidupan, tentang integritas, dan pentingnya memahami informasi secara utuh.
"Sertifikasi guru," Pak Yayat melanjutkan, "bukan soal berapa besar uang yang diterima. Ini tentang tanggung jawab moral untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan."
Murid-muridnya tertegun. Mereka memahami bahwa di balik selembar sertifikat dan sejumlah tunjangan, ada pengabdian yang jauh lebih berharga.
Adi mengangkat tangan lagi. "Kalau begitu, apa yang membuat seorang guru tetap mengajar, Pak? Bukankah gajinya tidak seberapa?"
Pertanyaan itu menusuk ke inti persoalan. Pak Yayat terdiam sejenak. Ia membawa murid-muridnya pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna pengabdian.
"Gaji bukan segalanya," ujarnya lembut. "Membuka mata dan pikiran kalian, melihat kalian tumbuh, berkembang, dan bermimpi - itulah upah terindah seorang guru."
Senyum mengembang di wajah murid-muridnya. Mereka mulai memahami bahwa pendidikan jauh lebih bermakna daripada sekadar materi.
Bel masuk berbunyi. Namun hari itu, pelajaran tidak hanya tentang angka dan rumus. Ini tentang kehidupan, tentang memahami realitas, tentang pentingnya berpikir kritis.