Â
"Assalamualaikum, Pak Hasari!"
Sapaan riang itu membuat Hasari tersentak dari lamunannya. Aroma sore yang pengap bercampur wangi chalk dust mengambang di ruang guru yang sepi. Di depan meja kerjanya yang sempit dan sedikit goyah, berdiri Dinda, salah satu murid kesayangannya dari kelas 9A.Â
Senyum cerah gadis berkerudung pink itu seketika menular, membuat Hasari melupakan sejenak beban yang menghimpit dadanya. Ada sesuatu dari pancaran mata polos siswanya yang selalu berhasil menghangatkan hatinya yang lelah.
"Waalaikumsalam, Dinda. Tumben belum pulang?" Hasari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Detak jarum jam terdengar lebih keras dalam kesunyian ruang guru yang sudah sepi, hanya tersisa dirinya dan tumpukan buku yang menunggu untuk dikoreksi. Suara tawa samar anak-anak yang bermain di lapangan terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
"Ini Pak, saya mau kasih undangan," Dinda menyodorkan amplop putih dengan hiasan bunga di sudutnya, jemarinya yang langsing tampak bersemangat. "Minggu depan saya wisuda tahfidz. Bapak harus datang ya!"
Hasari menerima undangan itu dengan hati bergetar. Lima belas tahun mengajar sebagai guru honorer telah memberinya ribuan kisah tentang murid-murid yang tumbuh dan berhasil meraih mimpi mereka.Â
Setiap prestasi mereka adalah obat bagi lelahnya, setiap keberhasilan mereka adalah balasan tak ternilai bagi pengabdiannya. Tapi entah mengapa, kali ini matanya terasa panas. Mungkin karena ia tahu, ini bisa jadi undangan terakhir yang ia terima sebagai seorang guru.
"Insya Allah, Bapak usahakan ya," jawabnya lembut, meski dalam hati tak yakin apakah ia masih bisa memenuhi janji itu. Suaranya sedikit bergetar menahan gejolak perasaan yang berkecamuk.
Setelah Dinda pamit pulang, meninggalkan jejak wangi parfum remaja yang lembut, Hasari membuka laci mejanya. Derit kayu tua terdengar memilukan. Di antara berkas-berkas kusam yang menguning dimakan waktu, ada sebuah amplop coklat yang sudah seminggu ini ia simpan.Â