Ruang guru siang itu terasa pengap, meski kipas angin berputar kencang di sudut ruangan. Bu Hera duduk termenung di mejanya, membaca ulang surat penugasan dari kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Tahun ajaran baru ini, ia ditunjuk menjadi wali kelas XI TKR (Teknik Kendaraan Ringan), kelas yang terkenal dengan sebutan "markas para montir" karena seluruh siswanya adalah laki-laki. Dua puluh lima siswa yang energinya seolah tak pernah habis.
Jemarinya yang lentik menyusuri permukaan surat itu, sementara pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan yang akan dihadapinya. Sebagai guru Bahasa Indonesia di sekolah kejuruan, ia tahu betul tantangan mengajar di jurusan teknik. Aroma oli dan grease yang selalu menempel di seragam siswa, tangan-tangan yang kasar karena praktik di bengkel, dan tentu saja, semangat muda yang terkadang sulit dikendalikan.
"Bu Hera, yakin bisa menangani kelas itu?" tanya Bu Siti, rekan sesama guru yang mejanya bersebelahan. Nada suaranya tidak menyembunyikan kekhawatiran. "Mereka itu kan anak-anak bengkel, bukan anak regular biasa."
Tapi Bu Hera hanya tersenyum, membiarkan angin dari kipas memainkan ujung jilbabnya yang berwarna pastel. Sebagai guru dengan pengalaman lima belas tahun mengajar, ia percaya setiap anak memiliki potensi kebaikan yang bisa digali, terlepas dari jurusan yang mereka pilih.
Hari pertama masuk kelas, suasana riuh menyambutnya. Bau oli dan keringat bercampur di udara, menciptakan aroma khas bengkel yang familiar. Alfian dan Joni sedang bergulat main-main di pojok kelas, seragam praktik mereka yang berwarna biru tua sudah kusut masai. Harjamin asyik memainkan gitar yang dibawanya dari rumah, jari-jarinya yang hitam oleh noda pelumas menciptakan melodi yang mengalun lembut. Subhan dan Aswandi malah asyik main game di ponsel mereka, mengabaikan catatan teknik mesin yang terbuka di meja.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Hera dengan suara lembut namun tegas. Perlahan, kegaduhan mereda. Dua puluh lima pasang mata memandangnya dengan berbagai ekspresi -- ada yang penasaran, ada yang menantang, ada pula yang acuh tak acuh. Beberapa siswa masih mengenakan seragam praktik mereka, hasil dari jadwal bengkel yang baru saja selesai.
"Mulai hari ini, Ibu akan menjadi wali kelas kalian. Mari kita buat tahun ini menjadi tahun yang berkesan," ujarnya sambil mulai menulis namanya di papan tulis. Dalam hati, ia bertekad untuk memahami dunia mereka, dunia teknik dan mesin yang selama ini terasa asing baginya.
Minggu-minggu pertama sungguh menguji kesabaran. Alfian, si ketua kelas yang atletis dan populer, sering memimpin keonaran. Tangannya yang kekar hasil kerja praktik di bengkel sering digunakan untuk mengganggu teman-temannya. Suatu hari, ia mengajak teman-temannya bolos pelajaran Bahasa Indonesia untuk mengutak-atik motor di bengkel sekolah.
Bu Hera tidak marah. Ia justru datang ke bengkel, mengabaikan noda oli yang mengotori sepatunya. Ia duduk di antara peralatan teknik dan motor-motor yang sedang dibongkar, mengamati bagaimana anak-anak didiknya bekerja dengan cekatan. "Kalian punya keahlian yang luar biasa," pujinya tulus. "Bagaimana kalau keahlian ini kita padukan dengan kemampuan berkomunikasi yang baik?"
Sejak hari itu, Bu Hera mulai menerapkan sistem pembelajaran yang berbeda. Ia mengintegrasikan pelajaran Bahasa Indonesia dengan dunia otomotif yang mereka cintai. Tugas menulis deskripsi diubah menjadi penjelasan tentang cara kerja mesin. Pelajaran membuat laporan dikaitkan dengan prosedur perbaikan kendaraan. Bahkan presentasi pun dibuat lebih hidup dengan demonstrasi langsung di bengkel.
Ia juga mulai memahami ritme khas kelas TKR. Mengizinkan anak-anak belajar sambil berdiri atau duduk di lantai jika mereka baru selesai praktik dan lelah duduk di kursi. Membuat permainan bahasa yang melibatkan istilah-istilah teknik. Bahkan pelajaran sastra pun dibuat lebih relevan dengan kehidupan mereka sebagai calon mekanik.
Perlahan, perubahan mulai terlihat. Joni yang terkenal bandel ternyata memiliki bakat luar biasa dalam menulis puisi tentang mesin dan kendaraan. Harjamin yang selalu membawa gitar rupanya bisa menciptakan lagu-lagu edukatif yang membantu teman-temannya menghapal istilah-istilah teknik. Subhan dan Aswandi yang gemar main game, setelah dibimbing, berhasil membuat aplikasi sederhana untuk katalog suku cadang.
Namun, tantangan terbesar datang ketika Alfian terlibat perkelahian dengan siswa dari sekolah teknik lain di sebuah bengkel tempat mereka praktik. Bu Hera mendapat telepon dari rumah sakit pada suatu malam yang dingin. Tanpa pikir panjang, ia bergegas ke sana, mengabaikan hujan yang mulai turun.
"Maaf, Bu," ucap Alfian dengan wajah lebam. Tangannya yang biasa lincah membongkar mesin kini terbaring lemah dengan infus. "Saya tidak bermaksud mengecewakan Ibu."
Air mata Bu Hera menetes, jatuh ke lantai rumah sakit yang dingin. "Ibu tidak kecewa, Alfian. Ibu khawatir. Kalian semua seperti anak Ibu sendiri. Ibu tahu kamu punya potensi untuk menjadi mekanik hebat, tapi keahlian harus diimbangi dengan karakter yang baik."
Kejadian itu menjadi titik balik. Alfian yang merasa tersentuh dengan kepedulian Bu Hera, mulai berubah. Ia menggunakan pengaruhnya untuk hal-hal positif, mengajak teman-temannya ikut kompetisi keterampilan otomotif sekaligus aktif dalam kegiatan literasi sekolah.
Tak terasa, semester pertama berlalu. Kelas XI TKR yang dulunya ditakuti karena kenakalannya, kini dikenal karena prestasi ganda mereka -- di bengkel dan di kelas. Mereka memenangkan lomba band antarkelas dengan lagu ciptaan Harjamin tentang cita-cita seorang mekanik. Joni menjuarai lomba menulis tingkat kota dengan puisi tentang filosofi mesin. Subhan dan Aswandi bahkan mendapat penghargaan dalam festival teknologi pelajar berkat aplikasi bengkel mereka.
Suatu sore, saat Bu Hera masuk kelas setelah jam praktik berakhir, ia mendapati sebuah kejutan. Anak-anak telah menghias kelas dengan kombinasi unik -- karton berisi puisi-puisi karya Joni berdampingan dengan diagram mesin, ada gitar Harjamin yang dihias pita bersandar di sebelah toolbox, dan sebuah aplikasi buatan Subhan-Aswandi yang menampilkan foto-foto kenangan mereka selama satu semester.
"Ini hadiah untuk Ibu," kata Alfian mewakili teman-temannya, tangannya yang masih berbau oli menggenggam sebuket bunga sederhana. "Terima kasih sudah melihat kami lebih dari sekadar anak bengkel. Terima kasih sudah percaya bahwa kami bisa jadi lebih dari yang orang kira."
Bu Hera tidak bisa menahan haru. Aroma oli, keringat, dan bunga berbaur dalam ruangan itu, menciptakan parfum kenangan yang tak akan pernah ia lupakan. Ia ingat bagaimana dulu banyak yang meragukan kemampuannya menangani kelas teknik ini. Tapi dengan kesabaran, cinta, dan keyakinan bahwa setiap anak memiliki potensi, ia telah membuktikan bahwa tidak ada siswa yang tidak bisa dibimbing.
Sore itu, sambil membereskan mejanya, Bu Hera membaca ulang puisi karya Joni yang dipajang di dinding bengkel:
"Untuk wanita yang tak gentar oli dan grease
Yang melihat emas dalam kotornya tangan kami
Yang tidak menyerah walau kami bau bengkel
Yang mencintai kami seperti putra sendiri
Yang mengajarkan bahwa mekanik pun perlu merangkai kata
Terima kasih, Ibu guru kami."
Bu Hera tersenyum, membiarkan senja yang masuk lewat jendela bengkel membasuh wajahnya. Menjadi wali kelas XI TKR mungkin bukan tugas yang mudah, tapi justru dari sanalah ia menemukan makna terdalam dari profesinya sebagai guru. Karena mengajar tidak hanya tentang transfer ilmu, tapi juga tentang menyentuh hati dan mengubah hidup. Di kelas ini, di antara aroma oli dan dentang kunci pas, ia menemukan bahwa cinta seorang guru bisa menembus batas-batas jurusan dan mengubah bengkel menjadi ruang di mana impian bertumbuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI