Ia juga mulai memahami ritme khas kelas TKR. Mengizinkan anak-anak belajar sambil berdiri atau duduk di lantai jika mereka baru selesai praktik dan lelah duduk di kursi. Membuat permainan bahasa yang melibatkan istilah-istilah teknik. Bahkan pelajaran sastra pun dibuat lebih relevan dengan kehidupan mereka sebagai calon mekanik.
Perlahan, perubahan mulai terlihat. Joni yang terkenal bandel ternyata memiliki bakat luar biasa dalam menulis puisi tentang mesin dan kendaraan. Harjamin yang selalu membawa gitar rupanya bisa menciptakan lagu-lagu edukatif yang membantu teman-temannya menghapal istilah-istilah teknik. Subhan dan Aswandi yang gemar main game, setelah dibimbing, berhasil membuat aplikasi sederhana untuk katalog suku cadang.
Namun, tantangan terbesar datang ketika Alfian terlibat perkelahian dengan siswa dari sekolah teknik lain di sebuah bengkel tempat mereka praktik. Bu Hera mendapat telepon dari rumah sakit pada suatu malam yang dingin. Tanpa pikir panjang, ia bergegas ke sana, mengabaikan hujan yang mulai turun.
"Maaf, Bu," ucap Alfian dengan wajah lebam. Tangannya yang biasa lincah membongkar mesin kini terbaring lemah dengan infus. "Saya tidak bermaksud mengecewakan Ibu."
Air mata Bu Hera menetes, jatuh ke lantai rumah sakit yang dingin. "Ibu tidak kecewa, Alfian. Ibu khawatir. Kalian semua seperti anak Ibu sendiri. Ibu tahu kamu punya potensi untuk menjadi mekanik hebat, tapi keahlian harus diimbangi dengan karakter yang baik."
Kejadian itu menjadi titik balik. Alfian yang merasa tersentuh dengan kepedulian Bu Hera, mulai berubah. Ia menggunakan pengaruhnya untuk hal-hal positif, mengajak teman-temannya ikut kompetisi keterampilan otomotif sekaligus aktif dalam kegiatan literasi sekolah.
Tak terasa, semester pertama berlalu. Kelas XI TKR yang dulunya ditakuti karena kenakalannya, kini dikenal karena prestasi ganda mereka -- di bengkel dan di kelas. Mereka memenangkan lomba band antarkelas dengan lagu ciptaan Harjamin tentang cita-cita seorang mekanik. Joni menjuarai lomba menulis tingkat kota dengan puisi tentang filosofi mesin. Subhan dan Aswandi bahkan mendapat penghargaan dalam festival teknologi pelajar berkat aplikasi bengkel mereka.
Suatu sore, saat Bu Hera masuk kelas setelah jam praktik berakhir, ia mendapati sebuah kejutan. Anak-anak telah menghias kelas dengan kombinasi unik -- karton berisi puisi-puisi karya Joni berdampingan dengan diagram mesin, ada gitar Harjamin yang dihias pita bersandar di sebelah toolbox, dan sebuah aplikasi buatan Subhan-Aswandi yang menampilkan foto-foto kenangan mereka selama satu semester.
"Ini hadiah untuk Ibu," kata Alfian mewakili teman-temannya, tangannya yang masih berbau oli menggenggam sebuket bunga sederhana. "Terima kasih sudah melihat kami lebih dari sekadar anak bengkel. Terima kasih sudah percaya bahwa kami bisa jadi lebih dari yang orang kira."
Bu Hera tidak bisa menahan haru. Aroma oli, keringat, dan bunga berbaur dalam ruangan itu, menciptakan parfum kenangan yang tak akan pernah ia lupakan. Ia ingat bagaimana dulu banyak yang meragukan kemampuannya menangani kelas teknik ini. Tapi dengan kesabaran, cinta, dan keyakinan bahwa setiap anak memiliki potensi, ia telah membuktikan bahwa tidak ada siswa yang tidak bisa dibimbing.
Sore itu, sambil membereskan mejanya, Bu Hera membaca ulang puisi karya Joni yang dipajang di dinding bengkel: