"Pak Niko?" suara di seberang terdengar terkejut, namun hangat dan familiar. "Ya Allah, sudah lama sekali... Maaf Bu Sri tidak pernah mengabari Bapak. Waktu itu Bu Sri datang ke sekolah, tapi Bapak sedang cuti panjang karena stroke."
Keheningan menyelimuti percakapan itu sejenak. Ada begitu banyak kata yang ingin diucapkan, namun tertahan di tenggorokan.
"Toni... bagaimana kabar Toni?" tanya Pak Niko akhirnya, suaranya penuh harap.
"Toni sudah besar, Pak," ada nada bangga dalam suara Bu Sri. "Dia... dia sekarang sedang dalam proses seleksi untuk menjadi kepala sekolah di SMA Cendekia."
Pak Niko hampir menjatuhkan teleponnya. Hatinya mencelos. "Toni akan menggantikan saya?"
"Ya, Pak. Dia mengikuti jejak ayahnya, menjadi guru. Tapi lebih dari itu, dia ingin meneruskan legacy Bapak. Setiap malam, waktu kecil, dia selalu minta dibacakan surat-surat ayahnya untuk Bapak. Surat-surat itu menjadi pengantar tidurnya, dan perlahan membentuk mimpinya. Dia bercita-cita membangun sekolah yang sama hangatnya seperti saat Bapak mengajar."
Keesokan harinya, aula SMA Cendekia dipenuhi wajah-wajah yang memancarkan haru. Di upacara perpisahan, Pak Niko berdiri di podium untuk pidato terakhirnya. Tubuhnya yang mulai renta masih memancarkan wibawa seorang pendidik sejati. Di barisan depan, duduk seorang pria muda yang mirip sekali dengan Marjono. Toni tersenyum, matanya berkaca-kaca. Di wajahnya, Pak Niko bisa melihat bayangan Marjono muda yang penuh semangat.
"Tiga puluh tahun mengajar telah mengajarkan saya satu hal," Pak Niko memulai pidatonya, suaranya mantap meski matanya berkaca-kaca. "Bahwa cinta seorang guru tidak pernah berhenti pada muridnya. Ia mengalir ke generasi berikutnya, seperti sungai yang tak pernah lelah memberi kehidupan."
Dia mengeluarkan surat terakhir Marjono, kertas yang kini menjadi jembatan waktu antara masa lalu dan masa depan. "Hari ini, saya ingin membacakan sebuah surat. Surat dari seorang ayah untuk anaknya, yang dititipkan melalui gurunya. Surat yang terlambat saya baca, tapi tepat waktu untuk saya sampaikan."
Di kursinya, Toni menangis tanpa suara. Air matanya adalah campuran kesedihan dan kebanggaan - kesedihan akan ayah yang tak pernah dia kenal sepenuhnya, dan kebanggaan akan warisan nilai-nilai yang ditinggalkan untuknya. Bu Sri yang duduk di sampingnya menggenggam tangannya erat, sama seperti dia menggenggam tangan Marjono kecil dulu.
Hari itu, di Hari Guru Nasional, tiga generasi dipersatukan oleh sebuah surat yang tertinggal, namun tak pernah terlambat untuk menyampaikan pesan cintanya. Di luar jendela aula, mentari bersinar cerah seolah memberkati momen sakral ini, sementara angin sepoi-sepoi membawa harum bunga yang bermekaran di taman sekolah - seolah alam pun turut merayakan pertemuan yang telah lama dinantikan ini.