Dentuman musik dari ruang praktik band bercampur dengan suara mesin bubut dari bengkel otomotif SMK Karya Bangsa. Bel istirahat berbunyi nyaring, mengakhiri pelajaran produktif di jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Dara, siswi kelas XI yang baru saja menyelesaikan praktikum jaringan, merasakan perutnya keroncongan. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Masih ada dua jam lagi sebelum waktu pulang sekolah.
Koridor sekolah mulai dipenuhi siswa-siswi berbaju praktik dari berbagai jurusan. Ada yang masih mengenakan wearpack biru dari bengkel, seragam putih dari laboratorium kimia, hingga celemek dari ruang praktik tata boga. Aroma oli mesin bercampur dengan wangi masakan dari dapur praktik memenuhi udara.
"Ra, ke kantin yuk!" ajak Nisa, teman sebangkunya yang sudah berdiri dengan dompet kecil bermotif bunga di tangannya. Keringat masih membasahi dahinya setelah dua jam berkutat dengan kabel jaringan dan router. Dara mengangguk sambil mengeluarkan uang jajan pemberian ibunya pagi tadi.
Kantin sekolah sudah dipadati siswa ketika mereka tiba. Suara gemuruh percakapan memenuhi ruangan, bercampur dengan dentingan sendok dan piring. Di sudut kantin, sekelompok siswa jurusan Multimedia sedang serius mendiskusikan proyek video mereka sambil menyantap makan siang. Di meja lain, beberapa siswa Teknik Kendaraan Ringan masih mengenakan sarung tangan kotor mereka sambil menikmati es teh manis.
Berbagai macam makanan dan minuman berwarna-warni tersusun rapi di etalase kaca. Aroma gorengan yang menggiurkan bercampur dengan wangi mi goreng yang baru dimasak. Deretan snack dalam kemasan plastik mengkilap berjajar rapi, berdampingan dengan minuman bersoda dalam botol plastik, dan aneka makanan ringan yang dikemas dalam wadah styrofoam. Asap mengepul dari wajan penggorengan Bu Yati, menciptakan aroma menggoda yang membuat perut semakin keroncongan.
"Aku mau beli es teh manis sama risoles deh," kata Nisa sambil menunjuk wadah styrofoam berisi risoles yang masih hangat. Bu Yati, penjaga kantin yang sudah berusia sekitar 50 tahun, dengan sigap mengambilkan pesanan Nisa. Tangannya yang terampil bergerak cepat melayani antrian siswa yang semakin panjang.
Di dekat jendela kantin yang terbuka, angin sepoi-sepoi membawa masuk aroma bunga kenanga dari halaman sekolah. Beberapa kupu-kupu sesekali hinggap di pot-pot tanaman yang ditata rapi di sepanjang jendela kantin, menambah kesejukan suasana. Sayangnya, pemandangan ini kontras dengan tumpukan sampah plastik dan styrofoam yang mulai menggunung di tempat sampah.
Dara memandangi deretan makanan di hadapannya. Ia teringat pesan ibunya tadi pagi untuk membeli makanan yang sehat. Di tengah hiruk pikuk kantin dan godaan makanan yang terlihat lezat di depannya, tekadnya goyah. Akhirnya, ia memilih sebungkus mie goreng instan yang disajikan dalam wadah plastik, lengkap dengan telur dan sosis.
"Bu, mi gorengnya satu ya," ucap Dara sambil menyerahkan uangnya.
Saat mereka duduk di salah satu bangku kantin yang terbuat dari plastik berwarna merah, Pak Rudi, guru biologi mereka, kebetulan lewat. Ia baru saja keluar dari laboratorium, masih mengenakan jas putihnya yang khas. Matanya yang tajam memperhatikan makanan yang mereka beli.
"Dara, Nisa, kalian tahu tidak? Bapak baru saja membaca hasil penelitian tentang makanan anak sekolah," ujar Pak Rudi sambil duduk di dekat mereka. Suaranya harus sedikit ditinggikan untuk mengalahkan keramaian kantin. "Ternyata banyak sekali makanan yang kita konsumsi mengandung terlalu banyak karbohidrat, gula, dan lemak. Belum lagi wadah plastik dan styrofoam yang bisa mencemari makanan dengan mikroplastik."
Dara dan Nisa saling berpandangan. Mereka masih mengunyah makanan mereka sambil mendengarkan penjelasan guru mereka.
"Coba lihat mi goreng yang kamu makan, Dara. Kandungan karbohidratnya tinggi, ditambah minyak goreng yang dipakai berulang kali. Risoles kamu juga, Nisa. Goreng-gorengan itu mengandung lemak yang tidak baik jika dikonsumsi terlalu sering."
Bu Yati yang mendengar percakapan mereka ikut mendekat. "Maaf Pak Rudi, saya juga sebenarnya ingin menyediakan makanan yang lebih sehat. Tapi anak-anak lebih suka jajanan yang seperti ini. Kalau saya jual sayur atau buah, jarang ada yang beli."
"Iya Bu, saya mengerti. Ini bukan salah ibu saja. Ini masalah yang kompleks," jawab Pak Rudi. "Tapi setidaknya kita bisa mulai dengan hal kecil. Misalnya, mengurangi penggunaan wadah plastik dan styrofoam. Bisa diganti dengan wadah ramah lingkungan."
Dara menatap mi gorengnya yang tinggal setengah. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan apa yang sedang ia makan. "Pak, terus sebaiknya kita jajan apa dong?"
"Kalian bisa mulai dengan membawa bekal dari rumah. Ibu kalian pasti bisa menyiapkan makanan yang lebih sehat. Atau kalau memang harus jajan, pilihlah makanan yang tidak terlalu berminyak dan tidak banyak mengandung gula."
Bel masuk berbunyi tepat ketika mereka menyelesaikan pembicaraan. Dara dan Nisa bergegas kembali ke kelas, tapi pikiran mereka masih dipenuhi dengan informasi yang baru saja mereka dengar.
Sepulang sekolah, langit mulai memerah ketika siswa-siswi berhamburan keluar gerbang. Suara starter motor dan klakson memenuhi area parkir. Dara mengendarai motornya pulang dengan pikiran berkecamuk. Ia melewati deretan pedagang kaki lima yang biasa menjadi tempat nongkrong anak-anak SMK, tapi kali ini ia memilih untuk langsung pulang. Ada yang harus ia bicarakan dengan ibunya.
Keesokan paginya, kantin sekolah masih ramai seperti biasa. Suara mesin-mesin dari bengkel kembali menjadi musik latar. Tapi kali ini, Dara dan Nisa duduk di pojok kantin dengan kotak bekal mereka. Isi bekal Dara adalah nasi dengan telur dadar dan sayur tumis, sedangkan Nisa membawa sandwich sayur buatan ibunya. Aroma masakan rumahan mereka mengundang perhatian beberapa teman sekelas.
"Ternyata bekal dari rumah juga enak ya," kata Nisa sambil mengunyah sandwich-nya. "Dan kata ibuku, ini lebih hemat lho. Lumayan uangnya bisa untuk beli komponen praktik."
Bu Yati yang melihat mereka membawa bekal tersenyum dari balik etalase kacanya. Ia mulai memikirkan cara untuk menyediakan makanan yang lebih sehat di kantinnya. Mungkin ia bisa mulai dengan mengurangi penggunaan wadah plastik dan styrofoam, atau menambahkan menu buah-buahan segar.
Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam, tapi kesadaran Dara dan Nisa tentang makanan sehat adalah awal yang baik. Mereka bahkan mulai mengajak teman-teman lain untuk lebih peduli dengan apa yang mereka makan. Di tengah kesibukan praktikum dan deadline tugas, kesehatan tetap harus menjadi prioritas. Karena pada akhirnya, kesehatan mereka di masa depan ditentukan oleh kebiasaan makan mereka hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H