Ingatan Pak Syaiful melayang pada rapat pagi tadi. Suaranya yang tegas namun bijaksana masih terngiang, "Bapak dan Ibu sekalian, keteladanan bukan sekadar kata-kata. Ia adalah bahasa universal yang lebih mudah ditangkap siswa dibanding seribu nasihat yang kita berikan." Namun entah mengapa, kata-kata itu seolah hanya menjadi angin lalu bagi beberapa rekannya.
Senja semakin turun, mengubah warna langit menjadi semburat jingga keemasan. Cahayanya yang lembut menyentuh wajah lelah Pak Syaiful, seakan memberi kekuatan baru. Ia teringat pesan mendiang ayahnya, seorang guru teladan di masanya, "Memimpin itu seperti menanam pohon. Kau harus sabar menunggu bibit itu tumbuh, tekun merawatnya, dan teguh menjaganya dari hama yang bisa merusak."
Setelah sejam bergulat dengan pikirannya, Pak Syaiful akhirnya mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Kali ini, ia akan mencoba pendekatan baru. Bukan dengan teguran keras atau sanksi tegas, melainkan dengan dialog personal yang lebih humanis. Ia akan mengundang ketiga guru tersebut secara terpisah, mendengarkan keluh kesah mereka, dan bersama-sama mencari solusi yang membangun.
"Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada aturan dan mengabaikan sisi kemanusiaan mereka," pikirnya sambil tersenyum. Matahari yang hampir tenggelam memancarkan sinar terakhirnya, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat, seolah menyetujui keputusan sang kepala sekolah. Ditatapnya sekali lagi lapangan sekolah yang kini diselimuti bayangan senja, dalam hatinya tertanam tekad kuat untuk terus membangun sekolah ini, satu teladan pada satu waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H