Jam dinding di ruang Bimbingan Konseling berdetak lambat, seolah mengejek kegelisahan Pak Heru yang duduk terpekur di balik mejanya. Berkas-berkas yang berserakan di hadapannya terasa seperti pecahan puzzle yang sulit disatukan. Sinar matahari sore yang menerobos lewat celah tirai jendela menciptakan bayangan panjang di lantai, mengingatkannya pada bagaimana waktu terus bergerak tanpa ampun. Tiga puluh menit lagi, orangtua Gara akan datang.
Pandangannya menerawang ke luar jendela, ke arah lapangan sekolah yang mulai sepi. Beberapa siswa masih terlihat bermain basket, tawa mereka sayup-sayup terdengar hingga ruangannya. Dulu, pikirnya, mendidik terasa lebih sederhana. Guru dan murid punya batas yang jelas, orangtua percaya sepenuhnya pada proses pendidikan. Kini, di era media sosial dan hukum yang seolah siap menjerat setiap langkah guru, bahkan niat baik pun bisa berujung petaka.
"Pak, saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti itu!" Suara bentakan Pak Herman, ayah Gara, masih terngiang di telinganya. Surat pengaduan resmi di tangannya kini menjadi bukti betapa rentan posisinya sebagai seorang guru BK. Tangannya sedikit bergetar saat membaca ulang kalimat-kalimat tuduhan di surat itu.
Kejadian seminggu lalu berputar kembali dalam ingatannya seperti film yang diulang. Gara, siswa kelas 2 SMA yang selama ini dikenal pendiam, tertangkap basah membully adik kelasnya di toilet sekolah. Bukan sekadar godaan main-main, tapi intimidasi sistematis yang membuat sang adik kelas trauma datang ke sekolah. Sebagai guru BK, Pak Heru melakukan apa yang seharusnya - memanggil Gara untuk konseling dan memberikan sanksi edukatif berupa tugas membuat karangan reflektif tentang dampak bullying.
"Anak saya bukan penjahat! Tidak perlu dipanggil-panggil ke BK segala!" Pak Heru masih ingat bagaimana wajah Pak Herman memerah menahan amarah saat mendatangi sekolah keesokan harinya. "Kalau sampai nilai anak saya turun gara-gara tekanan psikologis ini, saya tidak akan tinggal diam!"
Pak Heru mengusap wajahnya yang lelah, kerutan di keningnya semakin dalam. Dua puluh lima tahun mengabdi sebagai guru, ratusan kasus siswa telah ia tangani. Dari pencurian kecil hingga perkelahian serius, dari masalah cinta monyet hingga kenakalan remaja yang nyaris kriminal. Tapi baru kali ini ia merasa begitu vulnerable, begitu tidak berdaya.
Pikirannya melayang pada sosok Gara. Di balik sikap memberontaknya, Pak Heru bisa melihat ada luka yang belum sembuh. Perceraian orangtuanya tahun lalu, tekanan untuk selalu berprestasi, dan kesepian yang coba ia tutupi dengan tindakan agresif. Sebagai guru BK, Pak Heru ingin menolong - tapi bagaimana caranya jika setiap langkah bisa berujung ancaman hukum?
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Bu Evi, rekan sesama guru BK yang sudah 30 tahun mengajar, masuk dengan membawa dua cangkir teh hangat. Uap tipis mengepul dari cangkir, membawa aroma melati yang menenangkan. Di balik kacamatanya yang tebal, mata Bu Evi memancarkan kehangatan seorang ibu.
"Minum dulu, Pak," ujarnya lembut sembari meletakkan secangkir teh di meja Pak Heru. "Saya lihat dari tadi Bapak terus membolak-balik berkas itu. Pasti pikiran Bapak sedang kalut."
Pak Heru tersenyum tipis, meraih cangkir tehnya. "Terima kasih, Bu. Saya hanya... kadang saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana kita bisa mendidik generasi yang tangguh jika setiap upaya pendisiplinan dianggap sebagai kekerasan?"