Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Penuntun Rindu

17 November 2024   17:05 Diperbarui: 17 November 2024   17:06 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siapa sangka diskusi filosofis di tengah hujan itu yang membuat kita berjodoh?" Amira tertawa kecil, matanya berkaca-kaca mengenang masa lalu.

Hendra menggenggam tangan istrinya, merasakan kehangatan yang sama seperti 25 tahun lalu. "Yang lebih mengejutkan lagi, sekarang kita berdua sama-sama mengabdi di dunia pendidikan. Kau sebagai kepala sekolah, aku sebagai kepala dinas."

"Tapi perjalanan kita tidak mudah ya, Pak?" Amira menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Banyak yang mencibir waktu tahu guru dan murid menjalin hubungan, walau aku sudah lulus. Bahkan orangtuaku sempat ragu karena perbedaan usia kita."

"Ya, tapi kita buktikan bahwa cinta kita murni," Hendra membelai rambut istrinya yang mulai dihiasi uban. "Bukan tentang status guru dan murid, tapi dua jiwa yang sama-sama mencintai pendidikan dan berkomitmen untuk memajukannya."

Amira mengangguk, matanya menatap ke luar jendela dimana langit senja menampilkan gradasi warna yang memukau. "Dan sekarang kita bisa memberi contoh pada generasi muda bahwa cinta yang tulus, bila dilandasi nilai-nilai yang benar, bisa menjadi kekuatan untuk berbuat baik."

"Kau benar," Hendra tersenyum hangat. "Dua puluh lima tahun, dan aku masih belajar darimu, istriku. Tentang kesabaran, ketulusan, dan bagaimana mencintai dengan bijaksana."

Senja mulai turun di luar jendela, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding ruangan. Dalam ruangan kepala dinas yang hangat itu, sepasang insan pendidik tersenyum menatap foto pernikahan mereka. Bukan sekadar kisah cinta guru dan murid, tapi kisah tentang bagaimana pendidikan dan cinta bisa berjalan beriringan, mengubah hidup, dan membawa manfaat bagi banyak orang.

Dari kejauhan, terdengar suara guntur samar, mengingatkan mereka pada sore berhujan 25 tahun lalu. Matahari yang tenggelam menyisakan semburat jingga, persis seperti hari itu, 60 menit yang mengubah hidup mereka. Waktu yang singkat, namun dampaknya abadi, seperti ilmu yang bermanfaat dan cinta yang tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun