Bel istirahat berbunyi nyaring. Seperti biasa, koridor sekolah langsung dipenuhi siswa yang bergegas menuju kantin. Aroma makanan dari kantin mulai menguar, bercampur dengan gelak tawa dan obrolan riang para siswa yang menggema di sepanjang lorong. Namun tidak dengan Dinda. Gadis berkacamata itu justru melangkah perlahan menuju perpustakaan, tempat favoritnya menghabiskan waktu istirahat. Dalam hati, ia tersenyum mengingat betapa damainya suasana perpustakaan dibanding hiruk-pikuk koridor sekolah.
"Din, ke kantin yuk!" ajak Ratih, sahabatnya. Rambut sebahunya yang diikat ekor kuda bergoyang saat ia berlari kecil menghampiri Dinda.
Dinda menggeleng pelan, jemarinya menggenggam erat buku matematika yang sudah lusuh di pinggirnya karena terlalu sering dibuka. "Kamu duluan aja, Tih. Aku mau ke perpus."
"Lagi? Setiap hari perpus terus. Bosen tau nggak?" Ratih memutar bola matanya, tak habis pikir dengan kebiasaan sahabatnya ini.
"Nggak akan pernah bosen," jawab Dinda sambil tersenyum. Matanya berbinar di balik kacamata bundarnya. "Aku harus belajar ekstra buat olimpiade matematika bulan depan."
Ratih menghela napas panjang. Ia bisa melihat determinasi di mata sahabatnya itu. "Iya deh, terserah. Tapi jangan lupa makan ya!"
Dinda mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Setiap langkahnya bergema pelan di lantai koridor yang mulai sepi. Di dalam hatinya berkecamuk berbagai pikiran dan keraguan. Terkadang ia bertanya-tanya apakah usahanya ini akan membuahkan hasil. Namun setiap kali bayangan kedua orangtuanya melintas, tekadnya kembali menguat. Ayahnya yang setiap hari mengayuh becak di bawah terik matahari, dengan keringat yang mengucur deras membasahi kemeja lusuhnya. Ibunya yang sejak subuh sudah sibuk menggoreng berbagai makanan untuk dijual, dengan tangan yang mulai kasar karena pekerjaan.
Perpustakaan menyambutnya dengan aroma khas buku-buku tua dan AC yang berdengung halus. Dinda menghirup dalam-dalam aroma ini, merasakan ketenangan yang selalu ia dapatkan di tempat ini. Ia berjalan ke sudut favoritnya, dekat jendela yang menghadap ke lapangan sekolah. Cahaya matahari yang masuk menciptakan bayangan lembut di atas meja kayu yang sudah familiar dengannya.
Olimpiade matematika tingkat nasional bulan depan adalah kesempatannya. Jika berhasil meraih juara, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa kuliah. Suara-suara mengejek dari beberapa teman sekelasnya masih sering terngiang: "Ngapain sikut kuliah? Jadi pembantu aja udah bagus!" atau "Anak tukang becak mah tau apa soal kuliah?" Tapi Dinda sudah belajar untuk mengubah ejekan itu menjadi bahan bakar semangatnya. Ia percaya setiap langkah kecil yang ia ambil saat ini akan membawanya lebih dekat dengan impiannya.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Setiap istirahat dan pulang sekolah, Dinda selalu menyempatkan diri ke perpustakaan. Kadang ia menemukan dirinya tenggelam dalam soal-soal rumit sampai lupa waktu. Sinar matahari sore yang keemasan menerobos jendela perpustakaan sering menjadi pengingat bahwa ia harus pulang. Ia bahkan rela tidak jajan demi membeli buku-buku latihan soal olimpiade. Setiap keping uang yang ia sisihkan terasa berharga, mengingat kondisi ekonomi keluarganya.
Pak Rahmat, guru matematikanya yang mengetahui kesungguhan Dinda, dengan senang hati memberikan bimbingan tambahan seusai jam sekolah. Pria paruh baya itu melihat cerminan dirinya di masa muda dalam diri Dinda - seorang anak dari keluarga sederhana yang haus akan ilmu.
"Kamu punya potensi besar, Dinda," ujar Pak Rahmat suatu sore, sementara sinar matahari yang kemerahan menerobos masuk melalui jendela kelas. Ada kehangatan dalam suaranya yang dalam dan bijak. "Bapak yakin kamu bisa."
Di rumahnya yang sederhana, Dinda sering mengerjakan soal ditemani suara televisi tetangga dan obrolan para ibu yang berkumpul di depan rumah. Kamarnya yang sempit dengan sebuah meja belajar dari kayu bekas tidak menghalanginya untuk bermimpi besar. Setiap malam, setelah membantu ibunya membereskan dagangan, ia masih tekun belajar hingga larut. Lampu belajar yang remang menerangi buku-bukunya, sementara suara jangkrik dari luar menciptakan melodi malam yang familiar.
Kadang matanya terasa perih dan kepalanya pusing, tapi tekadnya tak pernah goyah. Ia sering mendapati dirinya melamun, membayangkan masa depan yang lebih baik. Dalam bayangannya, ia melihat dirinya mengenakan toga, sementara kedua orangtuanya tersenyum bangga. Bayangan itu selalu membuatnya tersenyum dan menguatkan tekadnya untuk belajar lebih giat.
Hari pelaksanaan olimpiade pun tiba. Jantung Dinda berdegup kencang saat bus yang membawanya memasuki Jakarta. Gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit membuatnya terpesona sekaligus terintimidasi. Dengan berbekal doa orangtua dan dukungan guru-gurunya, ia memberanikan diri melangkah ke gedung tempat olimpiade berlangsung. Tas ranselnya yang sudah lusuh berisi bekal sederhana buatan ibunya - nasi goreng dan sebotol air mineral.
Melihat peserta lain dari sekolah-sekolah unggulan sempat membuatnya ciut. Mereka tampak percaya diri dengan seragam rapi dan tas branded mereka. Namun Dinda segera mengingat kata-kata ibunya yang selalu membuatnya kuat.
"Nak, hidup ini seperti tangga. Tidak bisa langsung sampai ke puncak. Harus mendaki satu per satu. Yang penting jangan pernah berhenti melangkah."
Soal-soal olimpiade ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Keringat dingin mengucur di dahinya saat membaca soal pertama. Namun ia menghela napas panjang, mengatur detak jantungnya yang memburu. Berkat persiapannya yang matang selama ini, perlahan tapi pasti, ia bisa menyelesaikan semua soal dengan cukup percaya diri. Setiap rumus yang ia hafalkan, setiap soal yang ia latih, setiap jam yang ia habiskan di perpustakaan, semua terbayar pada saat itu.
Setelah pengumuman, tangis Dinda pecah. Air mata haru mengalir deras di pipinya saat namanya disebut sebagai juara kedua tingkat nasional. Dalam hati, ia membisikkan syukur yang tak terhingga.
"Selamat ya, Dinda!" Pak Rahmat langsung memeluknya begitu ia kembali ke sekolah. Mata guru senior itu berkaca-kaca. "Bapak bangga sekali padamu."
Berita keberhasilan Dinda menyebar ke seluruh sekolah. Bahkan teman-teman yang dulu mengejeknya kini mulai menghormatinya. Tapi bagi Dinda, prestasi ini bukanlah akhir dari perjuangannya. Ini hanya salah satu anak tangga menuju impiannya yang lebih besar.
"Terima kasih, Bu," ucap Dinda sambil memeluk ibunya yang menangis haru. Air mata bahagia mengalir di pipi wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih itu. "Ini berkat doa Ibu dan Ayah."
"Kamu sudah membuktikan bahwa kemiskinan bukan halangan untuk berprestasi, Nak," ujar ayahnya bangga. Suaranya yang biasanya tegas kini bergetar menahan haru.
Dinda tersenyum. Ia sadar bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil selama ini - setiap jam yang ia habiskan di perpustakaan, setiap soal yang ia kerjakan, setiap lelah yang ia tahan - telah membawanya lebih dekat dengan impiannya. Dan ia bertekad untuk terus melangkah maju, karena perjalanannya masih panjang.
Kini Dinda memiliki kesempatan untuk kuliah di universitas ternama dengan beasiswa penuh. Impiannya untuk mengangkat derajat keluarga perlahan mulai terwujud. Namun yang lebih penting, ia telah membuktikan bahwa dengan tekad kuat dan kerja keras, tidak ada yang tidak mungkin.
"Ingat Din," kata Pak Rahmat di hari kelulusannya, saat Dinda berpamitan untuk melanjutkan studinya. "Kesuksesan itu seperti mozaik. Dibangun dari kepingan-kepingan kecil usaha dan pengorbanan. Yang penting jangan pernah berhenti berusaha."
Dinda mengangguk mantap, matanya berbinar penuh tekad. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tapi ia siap menghadapinya. Karena ia percaya, setiap langkah kecil yang ia ambil hari ini adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik. Dan seperti kata ibunya, ia akan terus mendaki tangga kehidupan ini, satu anak tangga setiap kalinya, tanpa pernah berhenti melangkah maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI