Pak Rahmat, guru matematikanya yang mengetahui kesungguhan Dinda, dengan senang hati memberikan bimbingan tambahan seusai jam sekolah. Pria paruh baya itu melihat cerminan dirinya di masa muda dalam diri Dinda - seorang anak dari keluarga sederhana yang haus akan ilmu.
"Kamu punya potensi besar, Dinda," ujar Pak Rahmat suatu sore, sementara sinar matahari yang kemerahan menerobos masuk melalui jendela kelas. Ada kehangatan dalam suaranya yang dalam dan bijak. "Bapak yakin kamu bisa."
Di rumahnya yang sederhana, Dinda sering mengerjakan soal ditemani suara televisi tetangga dan obrolan para ibu yang berkumpul di depan rumah. Kamarnya yang sempit dengan sebuah meja belajar dari kayu bekas tidak menghalanginya untuk bermimpi besar. Setiap malam, setelah membantu ibunya membereskan dagangan, ia masih tekun belajar hingga larut. Lampu belajar yang remang menerangi buku-bukunya, sementara suara jangkrik dari luar menciptakan melodi malam yang familiar.
Kadang matanya terasa perih dan kepalanya pusing, tapi tekadnya tak pernah goyah. Ia sering mendapati dirinya melamun, membayangkan masa depan yang lebih baik. Dalam bayangannya, ia melihat dirinya mengenakan toga, sementara kedua orangtuanya tersenyum bangga. Bayangan itu selalu membuatnya tersenyum dan menguatkan tekadnya untuk belajar lebih giat.
Hari pelaksanaan olimpiade pun tiba. Jantung Dinda berdegup kencang saat bus yang membawanya memasuki Jakarta. Gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit membuatnya terpesona sekaligus terintimidasi. Dengan berbekal doa orangtua dan dukungan guru-gurunya, ia memberanikan diri melangkah ke gedung tempat olimpiade berlangsung. Tas ranselnya yang sudah lusuh berisi bekal sederhana buatan ibunya - nasi goreng dan sebotol air mineral.
Melihat peserta lain dari sekolah-sekolah unggulan sempat membuatnya ciut. Mereka tampak percaya diri dengan seragam rapi dan tas branded mereka. Namun Dinda segera mengingat kata-kata ibunya yang selalu membuatnya kuat.
"Nak, hidup ini seperti tangga. Tidak bisa langsung sampai ke puncak. Harus mendaki satu per satu. Yang penting jangan pernah berhenti melangkah."
Soal-soal olimpiade ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Keringat dingin mengucur di dahinya saat membaca soal pertama. Namun ia menghela napas panjang, mengatur detak jantungnya yang memburu. Berkat persiapannya yang matang selama ini, perlahan tapi pasti, ia bisa menyelesaikan semua soal dengan cukup percaya diri. Setiap rumus yang ia hafalkan, setiap soal yang ia latih, setiap jam yang ia habiskan di perpustakaan, semua terbayar pada saat itu.
Setelah pengumuman, tangis Dinda pecah. Air mata haru mengalir deras di pipinya saat namanya disebut sebagai juara kedua tingkat nasional. Dalam hati, ia membisikkan syukur yang tak terhingga.
"Selamat ya, Dinda!" Pak Rahmat langsung memeluknya begitu ia kembali ke sekolah. Mata guru senior itu berkaca-kaca. "Bapak bangga sekali padamu."
Berita keberhasilan Dinda menyebar ke seluruh sekolah. Bahkan teman-teman yang dulu mengejeknya kini mulai menghormatinya. Tapi bagi Dinda, prestasi ini bukanlah akhir dari perjuangannya. Ini hanya salah satu anak tangga menuju impiannya yang lebih besar.