Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Batu Satam: Perpaduan Misteri Langit dan Warisan Bumi

22 Oktober 2024   13:32 Diperbarui: 22 Oktober 2024   13:35 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satam Doc - Peta Sebaran - The world tektites distiburion map (Mccall, 2005)

Di tengah hamparan tanah Pulau Belitung yang kaya akan timah, tersimpan sebuah harta karun geologi yang menyimpan cerita tentang pertemuan antara langit dan bumi. Batu Satam - sebuah nama yang membawa kita pada perjalanan menarik antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan budaya yang telah mengakar selama berabad-abad. Kehadirannya di pulau ini menjadi saksi bisu perpaduan antara fenomena alam yang menakjubkan dan kearifan lokal yang mendalam.

Dalam perspektif ilmiah, para ahli geologi mengenal batu ini dengan nama Billitonies, seperti yang pertama kali dicatat oleh Wing Eston pada tahun 1921. Penamaan ini kemudian menjadi standar dalam literatur geologi Indonesia, mengukuhkan posisi Pulau Belitung sebagai lokasi signifikan dalam peta geologi dunia. Batu ini termasuk dalam kelompok The Indo-Australian Tektites, sebuah kelompok batuan yang terbentuk sekitar 770.000 tahun yang lalu, seperti yang telah dikonfirmasi melalui penelitian mendalam oleh Izzet dan Obradovich pada tahun 1992, serta Chao pada tahun 1993.

Namun, kisah penemuan batu ini bermula jauh sebelum para ilmuwan menelitinya. Pada tahun 1879, para penambang timah dari Tiongkok yang bekerja di tambang-tambang Belitung menemukan batu unik ini. Penemuan yang tidak disengaja ini terjadi ketika mereka sedang melakukan ekstraksi bijih timah. Mereka menemukannya tercampur dengan material endapan yang sama dengan lapisan timah placer, sebuah temuan yang kemudian didokumentasikan oleh Van Dijk, dan dikaji lebih lanjut oleh Burkseret pada tahun 1960.

Satam Doc - Peta Sebaran - The world tektites distiburion map (Mccall, 2005)
Satam Doc - Peta Sebaran - The world tektites distiburion map (Mccall, 2005)

Nama "Sa-Tam" sendiri memiliki akar linguistik yang menarik, berasal dari bahasa suku Khek, di mana "Sa" berarti pasir dan "Tam" berarti empedu. Penamaan ini mencerminkan kearifan lokal dalam mengamati karakteristik fisik batu tersebut, yang ditemukan di antara lapisan pasir dan memiliki penampilan yang menyerupai empedu. Pemilihan nama ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memiliki kemampuan observasi yang tajam terhadap alam sekitar mereka.

Keberadaan Batu Satam di Pulau Belitung tidak bisa dilepaskan dari proses geologi yang kompleks dan berlangsung selama jutaan tahun. Pulau ini, dengan morfologinya yang didominasi perbukitan, adalah hasil dari serangkaian peristiwa tektonik yang terjadi sejak zaman Jura. Proses ini membentuk lansekap unik yang menjadi tempat pengendapan berbagai material geologis, termasuk Batu Satam. Air yang mengalir dari dataran tinggi, bersama dengan proses erosi yang tak henti, telah membawa berbagai material ini ke cekungan-cekungan fluvial, menciptakan deposit yang kaya akan mineral dan batuan unik.

Bagi para penambang Tiongkok kala itu, penemuan Batu Satam lebih dari sekadar temuan geologi. Mereka meyakini batu ini sebagai pembawa keberuntungan dalam usaha penambangan timah. Keyakinan ini tidak hanya menjadi pendorong semangat kerja, tetapi juga mendorong mereka untuk memperluas area penambangan, terutama di sekitar lokasi pertama kali Batu Satam ditemukan. Kepercayaan ini kemudian berkembang menjadi bagian integral dari budaya penambangan di Belitung, menciptakan narasi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Satam Doc - Geological Information Center Belitong UGG
Satam Doc - Geological Information Center Belitong UGG

Dalam konteks modern, Batu Satam menghadirkan dilema menarik antara pelestarian warisan budaya dan kepentingan ilmiah. Hal ini menjadi sorotan terutama menjelang pra-revalidasi status UNESCO Belitong Geopark pada tahun 2024. Kunjungan Dr. Guy Martini, sebagai petinggi UNESCO Global Geopark, memberikan momentum penting dalam mendiskusikan keseimbangan antara pelestarian warisan geologi dan pengelolaannya secara berkelanjutan. Perspektifnya sebagai antropolog profesional memberikan wawasan berharga dalam menyikapi regulasi terkait batu bersejarah ini.

Dari sudut pandang geologi, kelangkaan Batu Satam terletak pada karakteristiknya yang unik sebagai benda langit (meteorit). Batuan ini memiliki posisi istimewa karena tidak termasuk dalam tiga kelompok utama batuan bumi (beku, metamorf, dan sedimen). Penemuannya yang tidak disengaja selama aktivitas penambangan timah masa lampau, ditambah dengan kesulitan dalam menemukan spesimen baru, semakin menguatkan status kelangkaannya.

Yang menarik adalah bagaimana kepercayaan tentang kekuatan Batu Satam sebagai pembawa keberuntungan mencerminkan perpaduan antara observasi alam dan interpretasi budaya. Keunikan fisik dan kelangkaan batu ini menjadi media penyampaian pesan budaya yang kaya makna, menghubungkan generasi masa lalu dengan masa kini. Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memahami dan menghargai fenomena alam melalui kacamata budaya mereka.

Satam Doc - DR. Guy Martini with Resident Geologist Belitong UGG
Satam Doc - DR. Guy Martini with Resident Geologist Belitong UGG

Kini, Batu Satam berdiri sebagai simbol pertemuan antara warisan budaya dan fenomena alam. Ia tidak hanya menjadi objek penelitian ilmiah yang berharga, tetapi juga merupakan jembatan yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan masyarakat Belitung - dari sejarah penambangan, kepercayaan tradisional, hingga potensi geoturisme modern. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa dalam setiap temuan ilmiah, tersimpan lapisan-lapisan cerita budaya yang memperkaya pemahaman kita tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Tantangan ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan antara upaya pelestarian Batu Satam sebagai warisan geologi yang langka, dengan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya yang telah terbentuk di sekitarnya. Hal ini membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan baik aspek ilmiah maupun sosial-budaya, demi memastikan keberlanjutan warisan berharga ini untuk generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun