Di tengah hamparan tanah Pulau Belitung yang kaya akan timah, tersimpan sebuah harta karun geologi yang menyimpan cerita tentang pertemuan antara langit dan bumi. Batu Satam - sebuah nama yang membawa kita pada perjalanan menarik antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan budaya yang telah mengakar selama berabad-abad. Kehadirannya di pulau ini menjadi saksi bisu perpaduan antara fenomena alam yang menakjubkan dan kearifan lokal yang mendalam.
Dalam perspektif ilmiah, para ahli geologi mengenal batu ini dengan nama Billitonies, seperti yang pertama kali dicatat oleh Wing Eston pada tahun 1921. Penamaan ini kemudian menjadi standar dalam literatur geologi Indonesia, mengukuhkan posisi Pulau Belitung sebagai lokasi signifikan dalam peta geologi dunia. Batu ini termasuk dalam kelompok The Indo-Australian Tektites, sebuah kelompok batuan yang terbentuk sekitar 770.000 tahun yang lalu, seperti yang telah dikonfirmasi melalui penelitian mendalam oleh Izzet dan Obradovich pada tahun 1992, serta Chao pada tahun 1993.
Namun, kisah penemuan batu ini bermula jauh sebelum para ilmuwan menelitinya. Pada tahun 1879, para penambang timah dari Tiongkok yang bekerja di tambang-tambang Belitung menemukan batu unik ini. Penemuan yang tidak disengaja ini terjadi ketika mereka sedang melakukan ekstraksi bijih timah. Mereka menemukannya tercampur dengan material endapan yang sama dengan lapisan timah placer, sebuah temuan yang kemudian didokumentasikan oleh Van Dijk, dan dikaji lebih lanjut oleh Burkseret pada tahun 1960.
Nama "Sa-Tam" sendiri memiliki akar linguistik yang menarik, berasal dari bahasa suku Khek, di mana "Sa" berarti pasir dan "Tam" berarti empedu. Penamaan ini mencerminkan kearifan lokal dalam mengamati karakteristik fisik batu tersebut, yang ditemukan di antara lapisan pasir dan memiliki penampilan yang menyerupai empedu. Pemilihan nama ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memiliki kemampuan observasi yang tajam terhadap alam sekitar mereka.
Keberadaan Batu Satam di Pulau Belitung tidak bisa dilepaskan dari proses geologi yang kompleks dan berlangsung selama jutaan tahun. Pulau ini, dengan morfologinya yang didominasi perbukitan, adalah hasil dari serangkaian peristiwa tektonik yang terjadi sejak zaman Jura. Proses ini membentuk lansekap unik yang menjadi tempat pengendapan berbagai material geologis, termasuk Batu Satam. Air yang mengalir dari dataran tinggi, bersama dengan proses erosi yang tak henti, telah membawa berbagai material ini ke cekungan-cekungan fluvial, menciptakan deposit yang kaya akan mineral dan batuan unik.
Bagi para penambang Tiongkok kala itu, penemuan Batu Satam lebih dari sekadar temuan geologi. Mereka meyakini batu ini sebagai pembawa keberuntungan dalam usaha penambangan timah. Keyakinan ini tidak hanya menjadi pendorong semangat kerja, tetapi juga mendorong mereka untuk memperluas area penambangan, terutama di sekitar lokasi pertama kali Batu Satam ditemukan. Kepercayaan ini kemudian berkembang menjadi bagian integral dari budaya penambangan di Belitung, menciptakan narasi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam konteks modern, Batu Satam menghadirkan dilema menarik antara pelestarian warisan budaya dan kepentingan ilmiah. Hal ini menjadi sorotan terutama menjelang pra-revalidasi status UNESCO Belitong Geopark pada tahun 2024. Kunjungan Dr. Guy Martini, sebagai petinggi UNESCO Global Geopark, memberikan momentum penting dalam mendiskusikan keseimbangan antara pelestarian warisan geologi dan pengelolaannya secara berkelanjutan. Perspektifnya sebagai antropolog profesional memberikan wawasan berharga dalam menyikapi regulasi terkait batu bersejarah ini.
Dari sudut pandang geologi, kelangkaan Batu Satam terletak pada karakteristiknya yang unik sebagai benda langit (meteorit). Batuan ini memiliki posisi istimewa karena tidak termasuk dalam tiga kelompok utama batuan bumi (beku, metamorf, dan sedimen). Penemuannya yang tidak disengaja selama aktivitas penambangan timah masa lampau, ditambah dengan kesulitan dalam menemukan spesimen baru, semakin menguatkan status kelangkaannya.