Dengan pendapatan yang seringkali lebih rendah dibandingkan PNS, biaya tambahan ini bisa menjadi beban signifikan bagi anggaran rumah tangga mereka.Â
Ironis bahwa upaya untuk menyetarakan justru berpotensi menciptakan kesenjangan baru dalam hal kemampuan finansial.
Situasi ini menggambarkan dilema yang lebih besar dalam sistem kepegawaian pemerintah Indonesia. Di satu sisi, ada upaya untuk mengakui dan menghargai kontribusi PPPK.Â
Namun di sisi lain, perbedaan fundamental dalam status kepegawaian tetap menjadi garis pemisah yang nyata. Penyeragaman pakaian, meskipun simbolis, tidak mampu menjembatani jurang kesenjangan ini.
Reaksi apatis sebagian PPPK terhadap kebijakan ini juga patut menjadi perhatian serius. Sikap tidak peduli ini mungkin mencerminkan kekecewaan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun.Â
Mereka yang memilih untuk tidak mengikuti aturan seragam mungkin merasa bahwa perubahan kosmetik seperti ini tidak relevan dengan permasalahan mendasar yang mereka hadapi sehari-hari.
 Apatis ini bisa jadi merupakan bentuk protes diam-diam terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil dan tidak responsif terhadap kebutuhan mereka.
Lebih jauh lagi, fenomena ini membuka diskusi yang lebih luas tentang makna dan fungsi seragam dalam lingkungan kerja pemerintahan. Apakah keseragaman penampilan benar-benar penting dalam meningkatkan kinerja dan pelayanan publik?Â
Atau, justru hal ini hanya pengalihan dari isu-isu substansial seperti peningkatan kompetensi, perbaikan sistem manajemen kinerja, dan penyetaraan kesejahteraan?
Pemerintah perlu mempertimbangkan bahwa penyeragaman fisik tanpa disertai perbaikan menyeluruh dalam sistem kepegawaian hanya akan menjadi solusi superfisial.Â
Alih-alih fokus pada penampilan, mungkin lebih bijaksana untuk mengalokasikan sumber daya dan perhatian pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan PPPK.