Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berburu Tanda Tangan Guru Saat MPLS: Tradisi yang Perlu Ditinjau Ulang

16 Juli 2024   00:01 Diperbarui: 16 Juli 2024   00:31 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen palembang.tribunnews.com

"Orientasi sejati bukan tentang mengenal nama, tapi memahami potensi. Biarkan setiap siswa baru merasa dilihat, bukan sekadar tercatat."

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) merupakan momen penting bagi siswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah mereka. Salah satu kegiatan yang sering kita jumpai selama MPLS adalah meminta tanda tangan guru. Meski terlihat sederhana, kegiatan ini memiliki dampak yang cukup signifikan, baik positif maupun negatif, terhadap pengalaman siswa baru. Mari kita tinjau lebih dalam apakah tradisi ini masih relevan dan bermanfaat di era pendidikan modern.

Pada awalnya, ide di balik kegiatan meminta tanda tangan guru adalah untuk mendorong interaksi antara siswa baru dengan para pendidik mereka. Tujuannya mulia: membantu siswa mengenal wajah dan nama guru-guru mereka, sekaligus melatih keterampilan sosial dalam berkomunikasi dengan orang dewasa. Dalam teori, kegiatan ini bisa menjadi cara yang efektif untuk memecah kebekuan dan menciptakan hubungan awal yang positif antara siswa dan guru.

Namun, seperti halnya banyak tradisi lama dalam dunia pendidikan, kita perlu mengevaluasi apakah praktik ini masih sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan modern dan kebutuhan siswa saat ini. Meskipun ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh, terdapat juga beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan.

Salah satu keuntungan utama dari kegiatan ini adalah mendorong keaktifan siswa. Dalam upaya mendapatkan tanda tangan, siswa harus berinisiatif untuk mendekati guru, memperkenalkan diri, dan memulai percakapan. Ini bisa menjadi latihan berharga dalam mengembangkan kepercayaan diri dan keterampilan komunikasi. Selain itu, proses ini juga membantu siswa mengingat nama dan wajah guru-guru mereka dengan lebih baik, yang bisa bermanfaat untuk interaksi di masa depan.

Dari sudut pandang sosialisasi, kegiatan ini bisa dilihat sebagai simulasi mini dari situasi di dunia nyata di mana seseorang perlu berinteraksi dengan berbagai orang dalam posisi otoritas. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan sopan dan efektif dengan orang dewasa adalah keterampilan penting yang akan berguna bagi siswa di masa depan, baik dalam konteks akademis maupun profesional.

Namun, kita juga perlu mempertimbangkan sisi negatif dari praktik ini. Bagi sebagian siswa, terutama yang pemalu atau memiliki kecemasan sosial, kegiatan ini bisa menjadi sumber stres yang signifikan. Bukannya merasa nyaman di lingkungan baru mereka, siswa-siswa ini mungkin justru merasa tertekan dan cemas. Ini bertentangan dengan tujuan utama MPLS, yaitu membuat siswa merasa disambut dan nyaman di sekolah baru mereka.

Selain itu, fokus pada pengumpulan tanda tangan bisa mengalihkan perhatian siswa dari aspek-aspek penting lainnya dari MPLS. Alih-alih memperhatikan informasi penting tentang aturan sekolah, fasilitas, atau program akademik, siswa mungkin terlalu sibuk "berburu" tanda tangan. Ini bisa mengakibatkan mereka melewatkan informasi krusial yang seharusnya mereka dapatkan selama masa orientasi.

Dari perspektif guru, kegiatan ini juga bisa menjadi gangguan. Guru-guru yang sibuk mempersiapkan tahun ajaran baru mungkin merasa terbebani dengan keharusan untuk memberikan tanda tangan kepada puluhan atau bahkan ratusan siswa. Waktu dan energi yang dihabiskan untuk ini mungkin bisa digunakan untuk kegiatan yang lebih produktif, seperti menyiapkan materi pembelajaran atau merancang kegiatan orientasi yang lebih bermakna.

Ada juga masalah ketidakadilan yang mungkin timbul. Beberapa guru mungkin lebih mudah ditemui daripada yang lain, atau beberapa siswa mungkin lebih agresif dalam mengumpulkan tanda tangan. Ini bisa menciptakan situasi di mana tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam pendidikan.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi tradisi ini? Haruskah kita menghapusnya sepenuhnya, atau adakah cara untuk memodifikasinya agar lebih sesuai dengan kebutuhan pendidikan modern?

Salah satu solusi adalah mengganti kegiatan meminta tanda tangan dengan aktivitas yang lebih terstruktur dan bermakna. Misalnya, sekolah bisa mengadakan sesi "meet and greet" di mana siswa dan guru bisa berinteraksi dalam kelompok kecil. Ini bisa mencakup permainan perkenalan atau diskusi ringan tentang minat dan hobi, yang bisa menciptakan koneksi yang lebih mendalam daripada sekadar meminta tanda tangan.

Alternatif lain adalah menggunakan teknologi untuk memfasilitasi perkenalan. Sekolah bisa membuat platform digital di mana profil singkat guru-guru ditampilkan, dan siswa bisa berinteraksi melalui forum online atau sesi tanya jawab virtual. Ini bisa menjadi cara yang lebih inklusif dan kurang mengintimidasi bagi siswa yang pemalu, sambil tetap mencapai tujuan pengenalan.

Kita juga bisa mempertimbangkan untuk mengintegrasikan pengenalan guru ke dalam kegiatan orientasi yang lebih luas. Misalnya, guru-guru bisa dilibatkan dalam tur sekolah, memimpin sesi informasi tentang mata pelajaran mereka, atau berpartisipasi dalam kegiatan team building bersama siswa. Ini bisa menciptakan interaksi yang lebih alami dan bermakna.

Penting juga untuk mempertimbangkan perspektif siswa dalam merancang kegiatan orientasi. Sekolah bisa melakukan survei kepada siswa baru tentang apa yang mereka harapkan dari MPLS dan bagaimana mereka ingin berinteraksi dengan guru-guru mereka. Ini bisa memberikan wawasan berharga untuk merancang program yang benar-benar memenuhi kebutuhan siswa.

Pada akhirnya, tujuan utama dari setiap kegiatan dalam MPLS haruslah untuk membuat siswa merasa disambut, nyaman, dan siap untuk memulai perjalanan akademik mereka. Jika tradisi meminta tanda tangan guru tidak lagi efektif dalam mencapai tujuan ini, mungkin sudah waktunya untuk menggantinya dengan pendekatan yang lebih modern dan inklusif.

Sebagai pendidik dan pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan, kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengevaluasi dan memperbarui praktik-praktik kita. Tradisi memang penting, tetapi tidak boleh dipertahankan hanya karena "selalu begitu". Kita harus berani untuk meninjau ulang dan mengubah pendekatan kita demi kepentingan terbaik para siswa.

Dengan mempertimbangkan kembali kegiatan seperti meminta tanda tangan guru saat MPLS, kita membuka peluang untuk menciptakan pengalaman orientasi yang lebih bermakna, inklusif, dan sesuai dengan kebutuhan generasi siswa saat ini. Mari kita manfaatkan momen MPLS tidak hanya untuk memperkenalkan siswa pada lingkungan fisik sekolah, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai penting seperti rasa ingin tahu, kreativitas, dan semangat kolaborasi yang akan mereka butuhkan dalam perjalanan pendidikan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun