Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggugat Paradigma Sekolah Favorit: Memprioritaskan Proses Daripada Input

28 Juni 2024   00:01 Diperbarui: 28 Juni 2024   00:06 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sekolah favorit sejati bukan yang memilih siswa terbaik, melainkan yang mampu menjadikan setiap siswanya yang terbaik."

Dalam dunia pendidikan Indonesia, istilah "sekolah favorit" telah lama menjadi magnet yang menarik perhatian orang tua dan siswa. Namun, apakah kita benar-benar memahami esensi dari sebuah sekolah yang layak disebut favorit? Tulisan Waliyadin, seorang akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mahasiswa doktoral di University of Canberra, Australia, yang terbit di Kompas (27/06/2024), membuka mata kita tentang mispersepsi yang selama ini berkembang di masyarakat.

Sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya sangat setuju dengan pandangan Waliyadin. Ia menegaskan bahwa sekolah memiliki entitas yang sangat kompleks, dan sekolah yang efektif serta unggul adalah yang mampu melakukan proses terbaik. Pernyataan ini mengajak kita untuk memikirkan kembali definisi sekolah favorit yang selama ini terlanjur mengakar di masyarakat.

Selama bertahun-tahun, persepsi masyarakat terhadap sekolah favorit telah terbentuk secara keliru. Kebanyakan orang cenderung mengidentikkan sekolah favorit dengan institusi pendidikan yang memiliki input siswa terbaik, yakni mereka yang memiliki nilai akademis tinggi atau prestasi menonjol. Pandangan sempit ini telah menciptakan hierarki tidak resmi di antara lembaga pendidikan, di mana beberapa sekolah dianggap lebih unggul dari yang lain semata-mata berdasarkan kualitas input siswanya. Akibatnya, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dengan banyak orang tua yang rela melakukan berbagai cara, bahkan hingga melanggar aturan atau melakukan kecurangan, demi memasukkan anak mereka ke sekolah-sekolah yang dianggap favorit ini.

Fenomena ini sungguh memprihatinkan dan berpotensi merusak sistem pendidikan nasional. Tidak hanya menciptakan tekanan yang tidak perlu pada siswa dan orang tua, tetapi juga mengalihkan fokus dari esensi pendidikan yang sebenarnya. Alih-alih menitikberatkan pada proses pembelajaran dan pengembangan potensi setiap anak, perhatian justru tercurah pada persaingan untuk masuk ke sekolah tertentu. Praktik ini sangat kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional secara menyeluruh. Seharusnya, fokus diarahkan pada peningkatan kualitas semua sekolah, bukan hanya segelintir yang dianggap favorit, sehingga setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, terlepas dari sekolah mana yang mereka masuki.

Pandangan Waliyadin mengajak kita untuk menggeser fokus dari input menuju proses. Sekolah yang sejatinya layak disebut favorit adalah sekolah yang mampu menerima input biasa-biasa saja, namun dengan proses terbaik dapat menghasilkan lulusan yang luar biasa, baik dari sisi akademik maupun non-akademik. Ini adalah paradigma yang seharusnya kita dorong dan kembangkan dalam sistem pendidikan kita.

Mengapa paradigma ini penting? Pertama, hal ini akan mendorong setiap sekolah untuk berkonsentrasi pada peningkatan kualitas proses pembelajaran, bukan sekadar berlomba-lomba mendapatkan siswa terbaik. Dengan fokus pada proses pembelajaran, sekolah dapat mengembangkan metode pengajaran yang lebih efektif dan inovatif, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, serta meningkatkan kompetensi guru. Hal ini pada akhirnya akan berdampak positif pada prestasi akademik dan pengembangan karakter seluruh siswa, bukan hanya segelintir siswa berprestasi. 

Kedua, paradigma ini memberi kesempatan yang lebih adil bagi semua siswa, terlepas dari latar belakang akademis mereka sebelumnya. Dengan pendekatan ini, siswa dari berbagai tingkat kemampuan dan latar belakang sosial-ekonomi memiliki akses yang setara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Hal ini dapat mengurangi kesenjangan pendidikan, meningkatkan mobilitas sosial, dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif di mana setiap siswa didorong untuk mencapai potensi terbaiknya.

Ketiga, fokus pada proses akan mendorong inovasi dan kreativitas dalam metode pengajaran, yang pada akhirnya akan menghasilkan lulusan yang lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata. Dengan mengadopsi pendekatan ini, guru akan terdorong untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih interaktif dan berbasis pemecahan masalah. Siswa akan lebih terlatih dalam berpikir kritis, bekerja sama dalam tim, dan mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam situasi praktis. Akibatnya, mereka tidak hanya memiliki pengetahuan akademis yang kuat, tetapi juga keterampilan lunak yang sangat dihargai di dunia kerja modern.

Lebih jauh lagi, paradigma ini sejalan dengan prinsip pendidikan inklusif yang semakin didorong di tingkat global. Pendidikan inklusif menekankan bahwa setiap anak, terlepas dari kemampuan atau latar belakangnya, berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. Dengan menggeser fokus dari input ke proses, kita membuka pintu bagi terciptanya lingkungan belajar yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Namun, mengubah paradigma yang telah lama tertanam bukanlah perkara mudah. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk mewujudkan perubahan ini. Pemerintah, sebagai regulator, perlu meninjau ulang kebijakan PPDB yang selama ini cenderung memicu persaingan tidak sehat. Sistem zonasi yang diterapkan beberapa tahun terakhir sebenarnya sudah merupakan langkah positif, namun masih perlu penyempurnaan agar benar-benar efektif mengatasi kesenjangan kualitas antar sekolah.

Sekolah, di sisi lain, perlu didorong untuk mengembangkan program-program unggulan yang berfokus pada peningkatan kualitas proses pembelajaran. Ini bisa mencakup pengembangan metode pengajaran inovatif, peningkatan kompetensi guru, atau penerapan teknologi dalam pembelajaran. Sekolah juga perlu aktif melibatkan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan, sehingga tercipta ekosistem belajar yang holistik.

Orang tua dan masyarakat juga memiliki peran krusial dalam mengubah paradigma ini. Mereka perlu diedukasi bahwa kualitas sekolah tidak semata-mata ditentukan oleh input siswa, melainkan oleh kualitas proses pembelajaran yang berlangsung di dalamnya. Dengan pemahaman ini, diharapkan orang tua akan lebih bijak dalam memilih sekolah untuk anak mereka, tidak semata-mata berdasarkan label "favorit" yang selama ini disematkan.

Media massa dan akademisi juga perlu berperan aktif dalam menyebarluaskan paradigma baru ini. Liputan dan kajian yang lebih mendalam tentang praktik-praktik terbaik di sekolah-sekolah yang berhasil melakukan transformasi melalui perbaikan proses akan sangat bermanfaat sebagai inspirasi dan pembelajaran bagi sekolah lain.

Tentu saja, perubahan paradigma ini bukanlah proses yang instan. Diperlukan komitmen jangka panjang dan konsistensi dari semua pihak. Namun, jika kita berhasil menggeser fokus dari input ke proses, maka kita akan melihat dampak positif yang signifikan dalam jangka panjang. Kita akan melihat lebih banyak sekolah yang mampu menghasilkan lulusan berkualitas, terlepas dari label "favorit" yang disematkan oleh masyarakat.

Pada akhirnya, tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan potensi setiap peserta didik secara optimal. Dengan paradigma yang memprioritaskan proses di atas input, kita membuka jalan bagi terciptanya sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan berkualitas. Inilah esensi dari sekolah favorit yang sesungguhnya - sekolah yang mampu membawa setiap siswanya, terlepas dari kemampuan awalnya, menuju pencapaian terbaik mereka.

Melalui tulisannya, Waliyadin telah membuka diskusi penting tentang makna sekolah favorit. Kini, tantangan bagi kita semua adalah bagaimana menerjemahkan pemahaman baru ini ke dalam tindakan nyata. Mari kita mulai dengan mengubah cara pandang kita sendiri, kemudian secara aktif menyebarkan pemahaman ini ke lingkungan sekitar kita. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa suatu hari nanti, istilah "sekolah favorit" akan memiliki makna yang jauh lebih dalam dan bermakna - bukan sekadar label, melainkan cerminan dari komitmen terhadap kualitas proses pendidikan yang unggul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun