Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Salah satu contohnya adalah kasus seorang pegawai yang mengalami masalah dengan presensi elektroniknya. Meskipun ia telah melakukan presensi sebelum batas akhir, ternyata sistem tidak merekam kehadirannya. Akibatnya, ia terancam pemotongan tunjangan kinerja yang sangat ia harapkan.Â
Reaksi pegawai tersebut terhadap situasi ini sangat menarik untuk dibahas. Ia membuat status di WhatsApp yang menyatakan bahwa ia tidak akan terima di dunia dan akhirat jika tunjangannya terpotong. Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam. Namun, sebagai seorang Muslim, kita perlu memahami bahwa sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam tentang qada dan qadar.
Qada dan qadar merupakan salah satu rukun iman yang wajib kita yakini sebagai Muslim. Qada adalah ketetapan Allah yang telah ditentukan sejak azali, sedangkan qadar adalah perwujudan dari ketetapan tersebut.Â
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. At-Taghabun: 11)
Ayat ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, baik itu kebaikan maupun musibah, terjadi atas izin Allah. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan atau di luar pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, sikap yang tepat ketika menghadapi masalah seperti yang dialami pegawai tersebut adalah menerima dengan lapang dada dan berusaha mencari hikmah di baliknya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda:"Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin, semua urusannya baik baginya. Hal itu tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu baik baginya." (HR. Muslim)
Hadits ini mengajarkan kita untuk selalu bersikap positif dalam menghadapi berbagai situasi. Ketika mendapat kesenangan, kita harus bersyukur. Ketika ditimpa kesusahan, kita harus bersabar. Kedua sikap ini akan membawa kebaikan bagi kita.
Dalam kasus pegawai tersebut, alih-alih membuat status yang menunjukkan ketidakrelaan, seharusnya ia bersabar dan mencari solusi dengan cara yang lebih bijaksana. Misalnya, ia bisa melaporkan masalah tersebut kepada atasan atau bagian kepegawaian dan menjelaskan situasinya dengan tenang. Dengan pendekatan yang lebih positif, kemungkinan masalah tersebut bisa diselesaikan dengan baik.
Lebih jauh lagi, kita perlu memahami bahwa rezeki sudah ditetapkan oleh Allah. Tunjangan kinerja, jika diibaratkan sebagai rezeki, nominalnya sudah Allah tetapkan. Allah berfirman:"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Hud: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk-Nya, termasuk manusia. Jika kita benar-benar memahami dan meyakini hal ini, maka kita akan merasa tenang menghadapi berbagai situasi yang berkaitan dengan rezeki.
Namun, perlu dipahami bahwa keyakinan terhadap qada dan qadar bukan berarti kita harus bersikap pasif dan tidak berusaha. Islam mengajarkan keseimbangan antara tawakal (berserah diri kepada Allah) dan ikhtiar (berusaha). Allah berfirman:"...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa kita harus berusaha untuk mengubah keadaan kita sendiri. Dalam konteks kasus pegawai tersebut, ia tetap harus berusaha untuk menyelesaikan masalah presensinya dengan cara yang baik dan profesional.
Selain itu, kita juga perlu memahami bahwa ujian dan cobaan adalah bagian dari kehidupan seorang mukmin. Allah berfirman:"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabut: 2)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa ujian adalah cara Allah untuk menguji keimanan kita. Masalah presensi yang dialami pegawai tersebut bisa jadi merupakan ujian bagi keimanannya. Bagaimana ia menyikapi masalah tersebut akan menunjukkan kualitas keimanannya.
Dalam menghadapi ujian seperti ini, kita dianjurkan untuk bersabar dan bertawakal kepada Allah. Rasulullah bersabda:"Sungguh, besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Dan sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa ridha (menerima ujian tersebut), maka dia akan mendapat keridhaan Allah. Dan barangsiapa murka, maka dia akan mendapat kemurkaan Allah." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengajarkan kita bahwa ujian adalah tanda kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Semakin besar ujian yang kita hadapi, semakin besar pula pahala yang akan kita dapatkan jika kita menghadapinya dengan sabar dan ridha.
Dalam konteks kasus pegawai tersebut, alih-alih membuat status yang menunjukkan ketidakrelaan, seharusnya ia mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Mungkin ini adalah cara Allah untuk mengajarkan kesabaran, atau mungkin ini adalah peringatan untuk lebih berhati-hati dalam melakukan presensi di masa depan.
Lebih jauh lagi, kita perlu memahami bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Apa yang kita anggap sebagai kerugian di dunia mungkin justru menjadi keuntungan di akhirat. Allah  berfirman:"...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa penilaian kita terhadap suatu kejadian mungkin tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Apa yang kita anggap buruk mungkin justru baik bagi kita, dan sebaliknya.
Kesimpulannya, sebagai seorang Muslim, kita harus memahami dan meyakini konsep qada dan qadar. Kita harus menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada, sambil tetap berusaha melakukan yang terbaik dalam batas kemampuan kita. Sikap seperti ini akan membawa ketenangan hati dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam kasus pegawai tersebut, alih-alih membuat status yang menunjukkan ketidakrelaan, seharusnya ia bersabar, bertawakal kepada Allah, dan mencari solusi dengan cara yang bijaksana. Dengan sikap seperti ini, insya Allah masalah yang dihadapinya akan terselesaikan dengan baik, dan ia akan mendapatkan ketenangan hati serta pahala dari Allah.
Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat menjadi renungan bagi kita semua dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan dalam kehidupan. Wallahu a'lam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H