"Masa depan suatu bangsa tergantung pada cara bangsa itu mengasuh anak-anaknya."
Isu program makan siang gratis di sekolah-sekolah kembali mengemuka belakangan ini. Banyak kalangan yang menyambut positif gagasan ini. Mereka berharap dengan didanainya makan siang oleh negara, beban orang tua siswa bisa berkurang. Selain itu, dengan makan siang gratis diharapkan status gizi anak-anak Indonesia bisa lebih baik. Namun di sisi lain, ada pula kekhawatiran jika program ini akan menggerus anggaran pendidikan lain yang sudah ada, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sebagai warga negara yang peduli pendidikan, saya memiliki pandangan tersendiri soal program makan siang gratis ini. Pada dasarnya saya tidak menolak program tersebut. Makan siang yang layak bagi anak usia sekolah memang penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka. Jika negara mampu menyediakannya secara cuma-cuma tentu merupakan hal bagus. Namun yang perlu digarisbawahi, pelaksanaan program ini tidak boleh mengorbankan anggaran pendidikan lain, khususnya BOS.Â
BOS sejatinya sudah cukup membantu meringankan beban biaya pendidikan bagi orang tua siswa dari kalangan tidak mampu. Dana BOS digunakan untuk membiayai kegiatan operasional sekolah, seperti pembelian buku, kegiatan ekstrakurikuler, langganan daya dan jasa, pemeliharaan sekolah, dan pembayaran gaji guru honorer. Mengalihkan sebagian dana BOS untuk program makan siang gratis berarti mengurangi anggaran untuk kebutuhan operasional tersebut. Padahal, kebutuhan itu juga sangat mendasar bagi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Oleh karena itu, jika pemerintah bersikeras menjalankan program makan siang gratis, sebaiknya menambah anggaran khusus di luar dana BOS yang sudah ada. Jangan sampai BOS "dipotong" untuk mendanai program baru ini. Kalaupun harus berbagi dana dengan BOS, porsinya pun harus diperhitungkan secara cermat agar tidak terlalu memberatkan.Â
Selain soal anggaran, pelaksanaan program makan siang gratis juga memerlukan perencanaan matang. Salah satu poin krusial adalah mengenai sasaran program. Menurut saya, program sebaiknya hanya diprioritaskan bagi siswa dari keluarga kurang mampu saja, bukan seluruh siswa. Survei menunjukkan sebagian besar orang tua siswa di Indonesia masih sanggup menyediakan uang saku untuk makan siang anaknya. Jadi, berikan saja makan siang cuma-cuma kepada siswa yang memang tidak mampu. Siswa dari keluarga mampu sebaiknya tetap makan siang seperti biasa.
Cara lain untuk menekan anggaran adalah dengan mewajibkan orang tua mampu menyumbang sebagian dana makan siang, sementara pemerintah menutupi kekurangannya. Atau, negara hanya menanggung sepenuhnya makan siang siswa kelas 1-3 SD saja yang masih rentan gizi buruk. Siswa di kelas yang lebih tinggi bisa didorong lebih mandiri.Â
Implementasi program juga harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Jangan semata mengejar target kuantitas sekolah dan siswa yang disubsidi makan siangnya. Pastikan dulu kesiapan sarana prasarana pendukung, seperti dapur umum, tempat cuci tangan dan kamar mandi. Sekolah pelaksana juga harus benar-benar memenuhi standar kebersihan dan kesehatan dalam penyediaan makanan bagi siswa.
Pemerintah harus benar-benar memetakan sekolah mana saja yang paling membutuhkan program ini. Prioritaskan sekolah di daerah dengan angka kemiskinan dan gizi buruk anak tinggi. Lakukan survei menyeluruh untuk mengidentifikasi siswa kurang mampu yang perlu disubsidi. Kerjasama dengan dinas pendidikan dan kesehatan setempat juga penting untuk mendapatkan data akurat.Â
Dalam implementasinya, pengawasan dan monitoring ketat oleh pihak berwenang sangat dibutuhkan. Ini untuk memastikan standar kebersihan dan mutu gizi makanan terjaga. Perlu pula sosialisasi kepada orang tua terkait tujuan dan manfaat program makan siang gratis ini agar tidak disalahartikan. Lakukan evaluasi berkala untuk mengetahui dampak program terhadap status gizi dan prestasi belajar siswa.
Jika memang terbukti efektif meningkatkan gizi dan prestasi anak, program dapat diperluas secara bertahap ke sekolah-sekolah lainnya. Namun tetap pertimbangkan kesiapan dan anggaran secara matang. Jangan terburu-buru hanya demi genjot capaian kuantitas.Â
Selain sekolah negeri, sekolah swasta pun perlu dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam program ini. Banyak siswa tidak mampu yang bersekolah di swasta dengan beasiswa atau bantuan biaya dari yayasan. Mereka tentu juga layak mendapatkan makan siang gratis guna menunjang gizi dan belajarnya.
Dukungan dari berbagai elemen masyarakat juga diperlukan untuk suksesnya program makan siang gratis ini. Misalnya, kalangan pengusaha setempat bisa menyumbang dana untuk pengadaan dapur dan peralatan memasak di sekolah. Organisasi kemasyarakatan juga dapat dilibatkan untuk sosialisasi dan edukasi gizi seimbang kepada orang tua dan siswa.
Demikian pandangan saya terkait program makan siang gratis di sekolah yang tengah hangat diperbincangkan ini. Pada intinya saya tidak menolak program tersebut selama tidak mengganggu anggaran pendidikan yang lebih fundamental seperti BOS. Pelaksanaannya juga memerlukan perencanaan dan persiapan matang agar tepat sasaran dan berjalan efektif. Semoga pandangan ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H