"Belajar sejati bukanlah sekadar mengejar nilai, melainkan menguasai kompetensi dengan utuh."
Dalam dunia pendidikan yang seringkali terlalu memfokuskan pada nilai dan peringkat, sebuah perspektif baru mulai mengemuka: budaya penguasaan pembelajaran (mastery learning culture). Konsep ini mengubah paradigma pembelajaran dengan menempatkan proses belajar itu sendiri sebagai tujuan utama, bukan semata-mata hasil akhir berupa nilai tinggi.
Kita semua unik dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda. Namun dalam sistem pendidikan tradisional, seringkali ada tekanan untuk mencapai target kurikuler dalam waktu yang sama - yang menyebabkan beberapa siswa tertinggal sementara yang lain maju terlalu cepat.Â
Budaya penguasaan pembelajaran menantang asumsi ini dengan mengakui bahwa setiap individu memiliki laju belajar yang berbeda, dan memberikan ruang serta waktu yang dibutuhkan bagi masing-masing siswa untuk benar-benar menguasai pelajaran sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya.
Alih-alih hanya berfokus pada nilai akhir, pendekatan ini menekankan pada pemahaman yang mendalam. Siswa didorong untuk tidak sekedar menghafalkan fakta dan rumus, namun memahami konsep dengan sepenuhnya sebelum dapat melanjutkan ke pelajaran lain.Â
Dengan demikian, fondasi pengetahuan mereka lebih kokoh dan tidak ada lagi lubang-lubang pemahaman yang tertinggal. Di sisi lain, bagi mereka yang dapat menguasai lebih cepat, guru dapat memberikan tantangan dan pendalaman materi lebih lanjut, sehingga tidak ada waktu yang terbuang.
Dampak positif dari budaya penguasaan pembelajaran sudah teruji. Sebuah studi terhadap mahasiswa di perguruan tinggi yang menerapkan model ini menunjukkan tingkat kelulusan hingga 90% - jauh melampaui rata-rata nasional.Â
Rasa percaya diri siswa pun meningkat, karena mereka tidak lagi merasa tersisih oleh ketidakmampuan untuk mengejar target waktu yang kaku. Mereka belajar bahwa kegagalan sesaat bukanlah akhir, namun bagian dari proses menuju pemahaman yang lebih baik. Â
Selain itu, budaya penguasaan pembelajaran turut mendukung pengembangan keterampilan belajar sepanjang hayat (lifelong learning) yang sangat dibutuhkan di era serba cepat ini. Pekerjaan masa depan akan membutuhkan kemampuan untuk terus mempelajari hal baru dan beradaptasi.Â
Dengan terbiasa menguasai konsep secara tuntas, para siswa dibekali kebiasaan terus menelusuri pengetahuan baru hingga dipahami sepenuhnya. Mereka tak lagi bergantung pada "spoon-feeding" dalam sistem pendidikan terdahulu.
Namun masih ada tantangan yang harus dihadapi. Terutama, dibutuhkan komitmen dan sumber daya yang besar dari para guru dan sekolah. Memberikan perhatian personal yang lebih besar pada masing-masing siswa membutuhkan waktu dan usaha tambahan.Â
Pembelajaran mandiri dan pemanfaatan teknologi seperti kelas online/video pelajaran, tutor AI, dan platform adaptif dapat membantu mewujudkan hal ini. Namun tetap saja dibutuhkan investasi dalam pelatihan guru agar mampu memfasilitasi pengajaran yang berpusat pada penguasaan kompetensi.
Di sisi lain, orang tua juga perlu disesuaikan dengan cara pandang baru ini. Bagi sebagian, melihat anak tertinggal dari teman-temannya dalam menyelesaikan target kurikuler bisa dianggap sebagai kegagalan. Pemahaman dan dukungan dari keluarga terhadap proses belajar yang lebih fleksibel ini amat penting.Â
Sebab keberhasilan sesungguhnya bukan terletak pada seberapa cepat seseorang menguasai materi, melainkan penguasaannya yang utuh tanpa tertinggal. Orang tua perlu mendorong anak-anak mereka untuk terus belajar tanpa menyerah ketimbang mendorong mereka mengejar nilai tinggi namun pemahaman yang dangkal.Â
Di samping itu, dunia kerja pun perlu terbuka dengan sumber daya manusia yang memiliki penguasaan mendalam meski pencapaian mereka tidak seragam. Rekrutmen tidak dapat lagi semata-mata mengandalkan pada kelulusan tercepat atau nilai tertinggi.Â
Yang diperlukan adalah pemahaman yang utuh atas bidang yang dipelajari, bukan hafalan yang dangkal. Karyawan semacam ini akan dapat berkontribusi lebih maksimal di tempat kerja jangka panjang ketimbang mereka yang sekedar gelar tapi cacat pemahaman.
Pada akhirnya, budaya penguasaan pembelajaran mengembalikan fokus pendidikan pada tujuan sejatinya - yaitu menjadikan anak-anak kita sebagai pelajar yang sesungguhnya, bukan sekedar menghapal untuk mendapatkan nilai tinggi. Kita semestinya merayakan perbedaan kecepatan pemahaman, bukan menjadikannya tolok ukur kemampuan.Â
Seorang siswa yang membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami dengan tuntas tak lantas lebih buruk dibandingkan yang bisa mengejar jadwal dengan cepat namun pemahaman yang terbatas. Â
Sebab sesungguhnya, belajar adalah perjalanan tanpa akhir. Nilai baik dalam satu ujian mungkin penting untuk saat itu, namun penguasaan kompetensi yang sesungguhnya akan berguna untuk masa depan anak-anak kita.Â
Sudah waktunya kita meninggalkan penilaian yang dangkal dan mendorong mereka menjadi pelajar sejati sepanjang hayat. Karena pengetahuan tanpa pemahaman hanya akan bertahan sementara, tapi pemahaman yang sesungguhnya akan abadi. Maka masa depan pun akan diraih oleh mereka yang menghargai proses, bukan sekadar hasil kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H