"Bukan gelar yang menentukan kepemimpinan, tetapi kepemimpinanlah yang menentukan gelar."
Momentum untuk merefleksi dan meninjau kembali peraturan pendidikan terkini kembali mengemuka, kali ini melalui sorotan tajam dari Catur Nurrochman Oktavian, seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh harian Kompas pada tanggal 27 Januari 2024, Oktavian, yang menjabat sebagai Bendahara Pengurus Besar PGRI dan Wakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PGRI, menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021. Fokus utamanya adalah pada ketentuan kontroversial yang mewajibkan calon kepala sekolah untuk memiliki sertifikat guru penggerak, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai relevansi dan dampaknya dalam dunia pendidikan nasional.
Ini bukan hanya sekadar kritik terhadap regulasi baru, tetapi juga panggilan untuk refleksi mendalam terhadap arah kebijakan pendidikan di Indonesia. Catur Nurrochman Oktavian menggugah kesadaran akan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh para pendidik, serta perlunya kebijakan yang memperhatikan berbagai konteks dan dinamika di lapangan. Dalam era di mana pendidikan dihadapkan pada berbagai transformasi dan tantangan, tinjauan kritis seperti yang diusulkan oleh Oktavian menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diimplementasikan benar-benar berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh.
Setelah beberapa tahun diterapkan, terdapat sejumlah kendala dalam implementasi kebijakan ini di lapangan. Pertama, tidak semua guru telah mengikuti pelatihan guru penggerak. Apalagi di daerah terpencil, jumlah guru penggerak sangat terbatas. Akibatnya, perekrutan kepala sekolah menjadi tidak maksimal karena calon yang memenuhi syarat sangat sedikit.Â
Kedua, persyaratan sertifikat guru penggerak dinilai diskriminatif oleh guru non-penggerak yang sebenarnya memiliki kompetensi memadai untuk menjadi kepala sekolah. Mereka jadi kehilangan kesempatan mengembangkan karir meski punya potensi kepemimpinan dan manajerial yang baik.
Ketiga, proses rekrutmen jadi kurang kompetitif dan objektif karena calon kepala sekolah dibatasi dari guru bersertifikat penggerak saja. Seharusnya semua guru diberi kesempatan seleksi calon kepala sekolah berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan rekam jejak mengajar.Â
Keempat, pembatasan calon kepala sekolah dari guru penggerak bisa menurunkan mutu pemimpin sekolah karena yang terpilih belum tentu merupakan calon terbaik dari seluruh guru. Proses seleksi perlu melibatkan semua guru tanpa diskriminasi sertifikat penggerak atau non-penggerak.
Kelima, persyaratan sertifikat guru penggerak untuk jabatan pengawas sekolah juga perlu dievaluasi. Pada praktiknya, banyak guru senior dan berpengalaman yang kompeten menjadi pengawas meski belum bersertifikat penggerak. Mereka telah lama mengabdi membina guru di sekolah binaannya.