"Di balik ketidakmerataan pembangunan fasilitas pendidikan, tersembunyi potensi besar yang terabaikan. Mari kita bergerak bersama, merajut masa depan yang merata melalui investasi dalam pendidikan yang setara dan berkualitas."
Pendidikan merupakan fondasi penting dalam pembangunan suatu negara. Kualitas fasilitas pendidikan yang memadai berperan penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang optimal bagi para siswa. Namun, sayangnya, di banyak negara, termasuk Indonesia, pembangunan fasilitas pendidikan tidak merata. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah politik dan kedekatan antara kepala sekolah dengan pihak dinas pendidikan dan anggota dewan.
Dalam konteks Indonesia, pembangunan fasilitas pendidikan seringkali terkendala oleh keterbatasan anggaran. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta Iuran Pengembangan Pendidikan (IPP) yang tersedia tidak secara khusus ditujukan untuk pembangunan gedung sekolah. Sebagai hasilnya, keberadaan fasilitas yang diperlukan oleh sekolah sangat tergantung pada penganggaran yang dilakukan oleh dinas pendidikan.
Namun, yang menjadi perhatian adalah bahwa pengalokasian anggaran dalam pembangunan fasilitas pendidikan tidak selalu berjalan adil dan merata. Kedekatan kepala sekolah dengan pihak dinas pendidikan dan anggota dewan dapat mempengaruhi penempatan anggaran di sekolahnya. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara sekolah yang memiliki akses kedekatan dengan orang-orang di dinas pendidikan dan anggota dewan, dengan sekolah yang tidak memiliki akses yang sama.
Dalam kasus di mana pembangunan gedung sekolah dilakukan melalui proses tender, faktor politik semakin mempengaruhi keputusan. Oknum anggota dewan dengan kekuasaannya dapat memindahkan lokasi penempatan anggaran dari sekolah yang sudah ditetapkan sebelumnya ke sekolah lain yang dikehendaki oleh oknum tersebut.Â
Dalam situasi ini, kedekatan kepala sekolah dengan anggota dewan juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Akibatnya, sekolah yang kepala sekolahnya tidak memiliki akses kedekatan dengan orang-orang di dinas pendidikan dan anggota dewan akan menghadapi kesulitan dalam memperoleh anggaran untuk pembangunan fasilitas.
Ketidakmerataan pembangunan fasilitas pendidikan menjadi nyata ketika melihat perbedaan antara sekolah-sekolah. Ada sekolah yang fasilitasnya terus diperbarui dan ditingkatkan, sementara sekolah lainnya tetap stagnan, bahkan mengalami penurunan fasilitas. Praktik seperti ini tidak hanya menghambat perkembangan pendidikan, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam akses dan kesempatan belajar siswa.
Fokus pada mendapatkan anggaran baru sering kali mengakibatkan fasilitas lama dihancurkan tanpa memperhatikan kondisi sebenarnya. Meskipun fasilitas yang lama belum layak direhabilitasi, namun demi mendapatkan anggaran baru, beberapa sekolah justru memilih untuk menghancurkan fasilitas yang masih dapat dimanfaatkan. Hal ini tidak hanya menghamburkan sumber daya, tetapi juga memperburuk ketidakmerataan dalam pembangunan fasilitas pendidikan.
Semua ini mencerminkan kegagalan sistem dalam menghasilkan pembangunan pendidikan yang merata. Ketidakmerataan pembangunan fasilitas pendidikan bukan hanya masalah infrastruktur fisik, tetapi juga mencerminkan masalah struktural yang lebih dalam, yaitu keterlibatan politik dan hubungan kedekatan antara kepala sekolah dengan pihak dinas pendidikan dan anggota dewan.