"Hak individu tidak dapat diabaikan begitu saja, namun kepentingan umum juga perlu dipertimbangkan dengan bijak."
Sanksi untuk peserta Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2023 yang tidak mendaftar ulang setelah lolos mengundang pro dan kontra. Meskipun ada kebijakan tegas yang diatur oleh panitia seleksi, sanksi ini masih menjadi bahan perdebatan.
Ketua Pelaksana Eksekutif Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB), Budi Prasetyo Widyobroto, baru-baru ini mengumumkan bahwa peserta Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) yang lolos harus mendaftar ulang jika ingin mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) pada tahun-tahun berikutnya.Â
Menurut Budi, keputusan ini diambil untuk mempertimbangkan unsur keadilan dan menghindari kerugian bagi orang lain yang mendaftar. Namun, apakah sanksi ini benar-benar adil bagi siswa dan sekolah yang terkena dampaknya?
Pertama-tama, kita perlu mempertimbangkan perspektif siswa yang sudah lolos SNBP. Bagi mereka, lolos SNBP tentunya merupakan suatu pencapaian yang patut diapresiasi. Namun, apakah mereka seharusnya diwajibkan untuk mendaftar ulang jika mereka tidak ingin atau tidak mampu mengikuti UTBK pada tahun berikutnya?Â
Tentunya, ada berbagai alasan mengapa siswa mungkin tidak ingin atau tidak mampu mengikuti UTBK, seperti karena faktor kesehatan atau keluarga. Mereka yang tidak dapat mengikuti UTBK akan terkena sanksi, meskipun mereka sudah berhasil lolos SNBP dan mungkin memiliki potensi untuk sukses di perguruan tinggi.
Di sisi lain, sanksi ini memang dapat membantu mengurangi jumlah peserta UTBK yang tidak serius atau tidak memenuhi syarat. Dengan mewajibkan peserta SNBP untuk mendaftar ulang, panitia seleksi dapat memastikan bahwa hanya peserta yang benar-benar serius yang mengikuti UTBK. Namun, apakah sanksi ini benar-benar efektif untuk tujuan tersebut?Â
Bagaimana dengan peserta SNBP yang hanya mendaftar ulang karena takut terkena sanksi, tetapi sebenarnya tidak serius atau tidak memenuhi syarat untuk mengikuti UTBK?Â
Sanksi ini mungkin hanya akan memberikan beban tambahan bagi siswa yang sebenarnya tidak ingin atau tidak mampu mengikuti UTBK.
Dampak sanksi ini juga akan dirasakan oleh sekolah. Jika siswa yang lolos SNBP tidak mendaftar ulang, kuota siswa SNBP dari sekolah tersebut akan berkurang di waktu mendatang. Ini mungkin menjadi masalah bagi sekolah yang mengandalkan jalur SNBP untuk menempatkan siswa-siswa terbaiknya di perguruan tinggi terkemuka.Â
Namun, apakah sanksi ini benar-benar adil bagi sekolah?Â
Sekolah tidak dapat mengendalikan keputusan individu siswa untuk mendaftar ulang atau tidak. Mungkin lebih adil jika kuota siswa SNBP dari sekolah ditentukan berdasarkan kinerja sekolah secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan keputusan individu siswa.
Dari perspektif perguruan tinggi, sanksi ini mungkin akan membantu mengurangi jumlah peserta UTBK yang tidak serius atau tidak memenuhi syarat. Namun, apakah perguruan tinggi benar-benar perlu menyampaikan surat pengurangan kuota siswa kepada sekolah jika siswa yang lolos SNBP tidak mendaftar ulang?Â
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam akses pendidikan tinggi.Â
Namun, penerapan sanksi seperti pengurangan kuota siswa kepada sekolah tertentu karena kelalaian siswa yang tidak mendaftar ulang setelah lolos SNBP, dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak adil bagi sekolah dan siswa lain yang tidak terkait dengan kelalaian tersebut.
Selain itu, hal tersebut juga dapat memicu kecemasan dan tekanan yang berlebihan bagi siswa, terutama mereka yang baru saja meraih kelulusan SNBP. Sebagai solusi yang lebih baik, mungkin lebih baik jika perguruan tinggi memberikan sanksi atau insentif yang lebih berfokus pada penguatan motivasi dan kepentingan siswa dalam melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.Â
Contohnya, pemberian beasiswa atau bantuan finansial bagi siswa yang mendaftar ulang setelah lolos SNBP, atau program pembinaan dan bimbingan bagi siswa dalam menyiapkan diri mengikuti UTBK dan mengembangkan kemampuan akademik dan soft skill mereka.
Di sisi lain, pengumuman bahwa peluang mendaftar lewat jalur seleksi mandiri masih terbuka dapat dianggap sebagai kabar baik bagi siswa yang tidak berhasil mendaftar ulang setelah lolos SNBP.Â
Namun, perguruan tinggi juga perlu memastikan bahwa jalur seleksi mandiri tersebut dapat diakses secara adil dan transparan oleh semua calon mahasiswa, tanpa terkait dengan faktor eksternal seperti dukungan dari sekolah atau biaya tambahan yang tinggi.
Perlu dipahami bahwa proses seleksi penerimaan mahasiswa baru adalah bagian dari sistem yang kompleks dan terus berubah, yang melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda.Â
Oleh karena itu, diperlukan dialog dan kolaborasi yang lebih terbuka dan inklusif antara perguruan tinggi, siswa, sekolah, dan masyarakat dalam mencari solusi yang lebih baik dan berkelanjutan bagi masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H